Powered by Blogger.

Rambut baru


Aku berdebar-debar ketika menunggu giliranku menerima rapor. Aku melihat teman-temanku. Mereka juga sama cemasnya dengan aku. Ada yang berusaha bersikap biasa saja, atau ada yang berdoa-berharap nilai-nilai bagus semua. Akhirnya namaku dipanggil. Jantungku berdegup kencang. Aku cemas. Cemas banget dengan nilai-nilai-ku nanti. Kurasa, aku memang dapat nilai-nilai jeblok, aku kan jarang banget belajar.

Aku membuka buku raporku dan kulihat. Oh, astaga! Nilai-nilainya benar-benar mengerikan. Aku makin takut. Apa kata Mama nanti? Aku pasti bakal dimarahi dan puasa jajan. Oh, aku nggak mau! Ternyata banyak juga yang nilainya kurang memuaskan. Dua orang temanku juga mendapat nilai yang kurang memuaskan. Mereka sama takutnya denganku. Takut dimarahi orang tua mereka.

Memang aku terlihat aneh ya kalau pakai kacamata?

Aku benci mendengar kata itu. Kata yang membuatku sebal. Kata yang membuatku marah. Kenapa sih mereka tega mengejekku dengan kata itu? Apa tidak ada kata yang lebih sopan?

Berkali-kali aku mengutuk diriku sendiri. Kenapa sih aku harus terlahir dengan menggunakan benda satu ini? Yah, tentu saja. Benda ini sangat berguna buatku. Aku tidak akan bisa apa-apa tanpa benda ini. Tapi, gara-gara benda ini juga mereka mengejekku dengan kata yang satu itu. Kata yang selalu dilontarkan teman-teman ketika benda ini bertengger di hidungku.

Kacamata.

Memangnya aneh ya kalau seseorang memakai kacamata? Aku heran deh dengan orang-orang yang berpendapat, memakai kacamata itu membuat culun. Culun. Yeah, culun. Bagiku tidak. Sekarang kan sudah ada berbagai model kacamata. Terus, kenapa masih ada orang yang menolak jika mereka disuruh memakai kacamata. Apa nantinya wajah mereka akan aneh kalau pakai kacamata? Menjadi nerd?

Mata kodok.

Aku sebal setiap kali teman-teman melontarkan kata itu. Aku sebal setiap kali mereka memanggilku dengan julukan itu. Aku sebal setiap kali orang yang berkacamata dijuluki julukan itu.

Mata kodok?

Memang mata kodok terlihat seperti itu, ya? Atau mungkin karena mata orang yang berkacamata terlihat lebih besar jika mereka pakai kacamata? Ah, aku tidak tahu juga.

Mata empat.

Ini juga kata yang selalu dilontarkan teman-temanku. Mata empat. Hei, mataku kan ada dua, bukan empat. Kalian tidak bisa menghitung ya? Atau mungkin, karena kacamata itu berlensa dua, terus seseorang bermata dua memakainya, lalu kalau kacamata itu sudah terpakai seseorang itu jadi terlihat punya empat mata? Ah, aku tidak tahu juga.

Setiap kali mereka melontarkan kata-kata itu, aku selalu berharap dalam hati. Andai saja semua orang di dunia ini pakai kacamata. Kira-kira, bakal ada nggak ya julukan-julukan itu? Kalau misalnya ada, tentu saja orang-orang akan saling menjuluki mereka dengan julukan-julukan itu.

Tapi, ada sebagian orang yang berpendapat, jika seseorang berkacamata, mungkin saja orang itu pintar. Tentu saja, aku sering mendengar orang berpendapat seperti itu. Haha, padahal kan belum tentu. Bahkan, ada orang-orang yang menganggap berkacamata itu membuat culun. Hei, kata siapa? Well yeah, kadang-kadang aku merasa enjoy berkacamata. Dengan benda satu ini aku bisa melihat dengan jelas. Tapi, kalau benda ini tidak bertengger di hidungku seperti biasanya, wah, aku bisa gelagapan. Benda-benda di sekitarku menjadi buram semua.

Kemudian aku berpikir.

Ah, biarkan saja lah orang-orang yang menjuluki aku dengan julukan-julukan itu. Dengan kacamata aku sudah merasa nyaman kok! Tanpa khawatir dibilang culun, mata kodok, mata empat, bla bla bla… Terserah deh…

Book keeping

I’ve finished my book keeping task. Yeah, tugas tata buku emang bikin aku jengkel, sebel, marah-marah, ah pokoknya bikin sensi gitu deh. Selain itu, menguras tenaga en duit. Iya, kan harus beli bahan-bahannya.

Mrs. L menyuruh tugas ini harus diselesaikan minggu berikutnya. Gila aja, baru kemaren Kamis dikasih, eh Kamis minggu ini harus dikumpulkan.

So, emang dikasih tugas apa sih?

Kliping.

Yeah. Kami disuruh mengumpulkan lembar faktur, nota, kas bon, en kwitansi. Disertai juga sama kata pengantar, daftar isi, en penutup. Kami harus beli lembaran-lembaran faktur, nota, kas bon, dan bla bla itu ke koperasi sekolah. Kalo udah selesai, harus dijilid. Ugh, sungguh pekerjaan yang mengesalkan.

Selain contoh lembaran faktur, nota, en saudara-saudara sebangsa en setanah airnya, kami juga disuruh mengumpulkan contoh pengisian lembar-lembar itu. Oke lah, book keeping lesson jadi Bahasa lesson.

Gara-gara nggak ada contoh pengisiannya, aku en Desi ngarang bebas (tugas ini dikerjakan dua orang). Kami mengarang isi nota, faktur, kas bon, en kwitansi-nya. Kami isi pake nama palsu (hey, aku juga menyertakan nama my adorable sist di kwitansi), belanjaan di nota en faktur, bahkan tanda tangan palsu! Hahaha…so silly.

Fiuhhhh…akhirnya selesai juga tadi pagi. Kira-kira nilainya berapa ya?

It's about your besties

Punya temen baek?

Pernah ditinggal temen baek?

Sedih..., temen baekku pindah *namanya W*. Padahal belum juga kelas 3 sekelas lagi, dia udah pindah, hiks :'(

Dia baeeeek banget banget banget. Aku jadi nyesel pernah ngambek sama dia gara-gara hal sepele. Sekarang, aku kangeeeen banget banget banget sama dia. Aku suka inget masa-masa bareng sama dia. Waktu kelas 1 dulu, aku en dia duduk sebelahan. Asyik deh!

Tiap hari, becanda sama dia terus. Kalo ada pelajaran yang nggak ngerti, aku en dia suka saling mengajari. Kalo pelajaran mengemukakan pendapat *biasanya sih bahasa Indonesia* suka saling tukar pendapat. Sering maen ke rumahnya kalo pulang sekolah.

Hiks, kenapa sih kamu pindah?

Kapan kita bisa ketemuan lagi?

Apapun direlakan demi sebuah nilai!

Entah kenapa aku jadi benci banget sama pelajaran Seni Musik. Kenapa coba? Kenapa? Soalnya, harus pake alat musik. Dan kalo misalnya kita nggak punya alat musiknya, terpaksa deh beli. Bener kan? Kalo kata aku, bener banget! Yeah, ada sih yang nggak usah beli. Bikin marakas misalnya. Botol bekas diisi pasir. But sayangnya, alat musik kayak gitu nggak boleh digunakan, huh!

Tentu saja, gara-gara nggak punya alat, aku mesti beli. Well, actually, ada kok alat musik di rumah. Keyboard mini en keyboard gede en sebuah gitar yang aku yakin, udah berdebu karena jarang dipake. Keyboard mini, aku beli waktu kelas 6 SD. And, itu dadakan banget belinya. Aku mesti rela mencongkel tabunganku untuk beli tuh keyboard. Harganya 100 lebih pula! Oh God, tapi aku ikhlas. Demi sebuah nilai Seni Musik, ma men!

And, kali ini diulang lagi. Yang lebih parah, aku beli dua alat musik. Recorder en Pianika. Yeah, recorder en pianika, readers! Gila, untung masih ada sisa lebih sedikit uang di tabunganku.

Belum juga berumur seminggu beli recorder, eh udah beli pianika. Tolong bayangkan ini, recorder seharga dua puluh ribu (gak nawar!) besoknya beli pianika seharga tujuh puluh lima ribu rupiah! (sekali lagi nggak nawar!).

Wah wah, berapa total uang yang harus aku keluarkan. Oke, aku bisa belajar recorder. Tapi, suaranya nggak enak didenger en gak nyambung (recorder yang salah apa aku yang salah?!). Allright, pianika pun dibeli olehku keesokan harinya.

Ini penting banget soalnya! Kelompok seni musikku ingin memainkan lagu Naruto judulnya Alive, dan not-not piano-nya ada 4 coret. Itu loh, yang kalo di piano pencet tuts hitam. Nah nah, mana ada coba not 4 coret di recorder? So, I would prefer pianica.

Haha, anehnya lagi, aku nggak ngerasa nyesel tuh udah ngeluarin duit tujuh puluh lima ribu plus dua puluh ribu buat beli alat musik. Biarlah, jadi buat melengkapi koleksi alat musik di rumah kan?
tinggal biola en drum set yang belum punya.
Nice work, kika.

Belum pernah kau seperti ini. Biasanya kau ngirit. Oke oke, so... bener kan? Apapun diperjuangkan, direlakan, dipertaruhkan demi sebuah nilai.

Ekskul Bahasa Inggris : The First Day

Sungguh keajaiban. Sekolahku mengadakan ekskul bahasa Inggris. Tapi, nggak semua murid bisa merasakan. Soalnya... Nape coba? Kelas 9 doang yang wajib ikut ekskul. Alasannya? Belum diketahui secara pasti. Untuk bimbingan UN, biar bisa cas-cis-cus bahasa inggris, bla bla bla... Aku tidak tahu pastinya.

Dan, tentu saja.

Hari ini kebagian aku yang ekskul. Actually, kelasnya dibagi-bagi. Misalnya 20 orang dari kelas 9A kebagian hari Rabu, terus 20 orang lainnya hari Kamis. Sialnya, jadwal ekskul-nya bentrok sama les ETC (well, ETC juga bahasa inggris!). Haha... Mau gimana lagi, kan wajib. Harus datang terus! Nggak boleh bolos walau pun sekaliiiiii aja (trus, kalo sakit gimana dooong?).

Mulai ekskul jam 2, pulangnya jam 4. Udah ditunggu beberapa menit, lewat dari jam 2, gurunya belum datang-datang juga. Eh, nggak taunya malah disuruh pindah kelas!

Nggak lama kemudian, gurunya datang. Tapi, bareng sama Bu T (guru bahasa inggris di kelasku yang lumayan killer). Aku bersungut-sungut sebal, kok diajar sama Bu T sih? Tapi, ternyata bukan!

"No, I'm not here," kata Bu T.

Hhhh...Aku bisa menarik napas lega.

"Bu V lagi ada urusan, jadi kalian dibimbing sama asistennya Bu V," lanjut Bu T lagi. Bu V sebenernya yang ngajar di kelasku.

Yasud, akhirnya kelasku diajar sama asistennya Bu V itu. Namanya Mrs. R. Orangnya baek, beda banget sama Bu T.

Tentu saja, pelajaran bahasa Inggris yang pertama adalah : Partings and Greetings!
Itu loh, ungkapan-ungkapan sebangsa dan setanah air "Good morning", "Good Night", "How are you?", "I'm fine thanks. And you?" bla bla bla... begitulah -_____- *cukup membosankan!*

Tapi, ada juga sih ungkapan-ungkapan baru, ada juga yang nggak nyambung.

Misal, "Semoga perjalanan Anda menyenangkan" kalo di-bahasa inggris-in jadi "Have a nice day" atau "Have a good time". Aneh. Lebih nyambung "Have a good journey", right??

Pulang-pulang dari ekskul, kakiku pegel beraaaat!

"Lompat, Kik! Lompati pagarnya!"

Tiba-tiba aja seseorang memberitahuku kalo jadwal les libur. Tentu aja aku senangnya bukan main. Bisa maen komputer lagi deh di rumah. Hohoho… Tanpa buang waktu lagi, aku langsung pulang ke rumah. Yah, di jalan lancar-lancar aja.

Eh, tiba-tiba aku mengalami masalah kecil waktu udah sampe rumah.

Pagar rumahku digembok! *tumben banget!* Ugh, sial! Sekarang gimana aku bisa masuk cobaa??

Tapi, otakku memerintahkan kalo aku panjat aja pagarnya. Terus, aku buka kunci pintu rumah pake kunci duplikat punyaku deh! Tiba-tiba, aku urungkan niatku.

Well, waktu aku masih SD, Papa pernah berkata gini; “Kalo misalnya pagar rumah digembok, apa yang harus kamu lakukan?”

Dengan tampang polos, aku menggeleng.
“Lompat, Kik! Lompat! Lompati aja pagarnya! Nggak apa-apa. Terus, kamu buka
kunci pintu rumah pake kunci duplikatmu," kata Papa.
“Kan kayak pramuka,” lanjut Papa.

*Well, Papa-ku kan cukup gokil.*

Lalu, aku perhatikan sekelilingku. Oke, dalam keadaan sepi. Kayaknya tetangga-tetanggaku lagi pada pergi deh! Terus, aku pikir lagi. Well, sepertinya bukan ide yang buruk.

Tanpa babibu, aku langsung melompati pagar rumahku. Yeah, aku lompati tuh pagar! Untung saja pagarku nggak tinggi-tinggi amat. Dan untung saja nggak ditempeli pecahan-pecahan kaca. Dan untung saja pagarku ada celah-celahnya, jadi ada tempat untuk kakiku berpijak.

Oke, step satu telah selesai. Sekarang lanjut ke step dua. Aku ambil kunci duplikatku dari tas. Oh, untung saja aku bawa kunci duplikatku. Gimana kalo nggak coba? Duduk diam di depan pintu sampe semua anggota keluargaku pulang? Nope, thanks.

Step dua berhasil dan aku bisa masuk rumah! Hahaha…

Oh, terus gimana dengan gembok yang belum dibuka? Hoho, who cares? Yang penting, aku bisa masuk rumah walau pun dengan cara kayak maling.

So Silly.

Kamis sore di kendaraan sejuta umat

Waktu itu hari Kamis tanggal 24 September 2009.

Aku masih liburan di Solo. Papa lagi ke Karanganyar. Nginep di rumah mBah yang satu lagi (ibunya Papa). So, di Solo tinggal aku, Mama, en my little sis' Lila. Tiba-tiba, si Mama mengubah rencana liburan yang udah diatur sebelumnya waktu di Karawang.

"Eh, kita ke Luwes yuk!"

Mendengar itu si Lila langsung ngangguk-ngangguk setuju aja. Terus, dia langsung ganti baju.

"Eh eh, lu mau ikut nggak ke Luwes?" tanya Lila kepadaku. *Sumpeh, dia manggil aku pake 'lu'*.

"Ke Luwes? Ngapain?" tanyaku bingung.

"Ya maenlah!" tiba-tiba si Mama menjawab.

Aku mikir-mikir dulu. Mau ikut apa nggak ya? Sekadar informasi. Luwes itu nama sebuah mall. Eh bukan. Nggak cocok dibilang mall. Apa ye? Ah. Toserba aja. Luwes jadi tempat 'must attend' bagi Mama-ku. Mudik ke Solo tanpa berkunjung ke Luwes kayak makanan tanpa garam aja.

Akhirnya aku putuskan untuk ikut. Aku langsung mengambil duit THR dari dompet. Siapa tau ada barang bagus di sana. Mainan di Luwes tuh bagus-bagus en murah-murah loh! *promosi*. Salah seorang tanteku juga ikut.

Gara-gara nggak ada Papa, jadinya berempat tuh naek taksi. Sepanjang perjalanan aku ngantuk berat. Bahkan si Lila sampe hampir terlelap.

Ternyata duit THR yang aku rencanakan mau aku beliin DVD, kepake juga buat beli Scrabbles (hey, did you know this game? Seru loh maennya!). Aseeek, dapet juga mainan Scrabbles yang murah. Kalo beli di toko kayak Kidz Station tuh mahal banget.

Oh, ternyata pulangnya nggak segampang berangkatnya. Udah hampir maghrib. Ya sudah lah, naek angkot aja. Terus, dilanjut naek andong *di Solo banyak banget andong*. Eh eh, ternyata andong-nya udah nggak ada. Huh, jadinya naek elep deh!

Sialnya, aku, Mama, Lila, en tanteku itu kebagian duduk paling belakang. Mana elep-nya ngetem mulu. Padahal penumpangnya lumayan banyak.

Di depanku duduk tiga orang cowok.

Yang duduk di sebelah kiri memanggul ransel, yang duduk di tengah menurutku, kalo diliat dari belakang mirip sama Raden di film KING, en yang duduk deket jendela rambutnya jabrik.

Sialnya lagi, cowok yang duduk di tengah nengok-nengok ke belakang terus. Kan aku jadi jengkel ngeliatnya. Akhirnya sama si supir mereka bertiga disuruh pindah ke depan. Anehnya, kok aku ngerasa eye-catching sama cowok yang duduk di tengah.

Lucunya, waktu mereka bertiga turun, cowok yang duduk di tengah itu ngelirik ke arah elep yang aku tumpangi terus. Dan, matanya tampak melirik ke arahku! Ah. Jadi ge-er kan!

Kalo inget kejadian ini, aku jadi senyum-senyum sendiri. Oh ya ampun! Siapa sih nama kamu?

Peter Pan


Hoaaahhhhmmm yeah!
Feelingku bermacam-macam kali ini.
Salah satunya, aku lagi suka sama PETER PAN!

Oops, bukan. Bukan nama band yang itu. Yaaa, film PETER PAN!

Lonely


Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaanku saja. Aku juga tidak tahu kalau ini memang benar-benar nasibku. Jujur, akhir-akhir ini aku sering menangis sendirian. Bahkan, aku sering menyalahkan Sheilla, adik kecilku yang baru kelas 2 SD. Mungkin, gara-gara Sheilla, kasih sayang kedua orangtuaku berkurang. Apalagi dengan masalah Mama-Papa dengan Kak Cilla.

Ternyata Prasangka Itu…


Aku menunggu jemputan di depan rumah, bareng sama adikku. Hari ini adalah hari kelima aku ikut jemputan sekolah. Salah satu alasannya, seharusnya aku ikut jemputan sekolah.

“Lebih baik, kamu ikut jemputannya Dika,” usul Mama. Dika adalah nama adikku.

“Tapi Ma…,” aku ingin menolak. Tapi, yaa…mau bagaimana lagi.

Akhirnya, mobil jemputan datang juga. Aku dan adikku segera naik. Biasanya, yang mengantar adalah Pak Ridwan. Tapi, kali ini bukan. Bukan Pak Ridwan yang mengantar ke sekolah. Seorang Bapak dengan ekspresi bengis, jenggot yang berantakan, dan mata yang lebar, yang mengantar aku dan Dika ke sekolah. Anehnya, Dika tidak peduli. Dia tidak kaget kalau bukan Pak Ridwan yang mengantar.

“Bumbunya mana lagi?"

Kejadian ini terjadi di hari Kamis, tanggal 13 November 2008. Saat itu lagi pelajaran Tata Boga, pelajaran jam pertama. Tata Boga. Uuuhh… Namanya juga Tata Boga, pasti berhubungan sama masak-memasak. Kelompok aku mencoba untuk buat sup telur kuah bening yang ada soun en baso-nya (sumpah! Pas udah jadi, enak banget!).

“Farizka, besok kamu bawa bumbu ya! Jangan lupa,” kata D waktu hari Rabu.

“Bumbunya apa aja tuh?” tanyaku balik pada D.

“Ya, misalnya cabe, merica, ya…sejenisnya lah! Oya, jangan lupa bawa bawang goreng,” jawab D.

Sebenarnya, D dan anggota kelompokku yang lain mau pergi ke pasar, beli bahan-bahan buat praktek besok. Tapi, kata D, aku nggak usah ikut. Ya udah, aku langsung pulang. Sampai di rumah, aku langsung tiduran. Soalnya, waktu itu, aku lagi pusing en gak enak badan. Paginya, aku langsung mempersiapkan bumbu-bumbu buat besok.
Aku langsung siapin merica, garam, cabe, en bawang goreng. Nah, semua udah beres! Batinku. Aku berangkat ke sekolah. To the point aja dah, langsung ke bagian waktu praktek masak.

“Farizka, bumbunya mana lagi?” tanya R. Deg! Waduh! Batinku. Jantungku udah deg-degan.

“Duh, masa cuma segini sih? Mana bawang merah en bawang putih-nya?” tanya R lagi. R siap-siap mau marah.

“Ah! Nggak niat amat sih buat masak!” seru Rt, ngambek. Aduh! Sorry! Kurang bumbu yah? Uppss…

Untunglah, R berhasil minta bawang ke kelompok lain. Tapi, walaupun sedikit kurang bumbu, masakannya tetep enak kok! Suwer!!! Hhaha… Untung dua kali, gak lama kemudian, anggota kelompokku yang lain, nggak ngambek lagi sama aku. Hmm… Mungkin karena sibuk dengan makanan mereka masing-masing kali ya? Hhaha…