Powered by Blogger.

Terus kenapa?

Kenapa, sih, kau heran ketika melihat seseorang jalan sendirian?

Kenapa, sih, kau langsung berpikir tak ada orang yang mau menemaninya?

Kenapa, sih, kau memendam rasa gengsi untuk jalan sendirian?

Astaga.

Tak ada yang salah dengan hal itu, kan?

Jika kau bisa melakukannya sendiri, mengapa tidak?

Stunned

Jika kau suka K-pop—maksudku berbagai boyband dan girlband Korea, maka aku suka Sungha Jung.

Astaga. Siapa?

Sungha Jung, seorang gitaris Korea Selatan berumur 15 tahun (untuk tahun ini) yang sudah tampil di mana-mana—bahkan Amerika. Dia punya dua album, ngomong-ngomong; Perfect Blue dan Irony.

Informasi lebih lanjut? Cek di sini.

Penasaran? Lihat aksinya di sini dan siap-siap terpana.

Solitude

Aku menyadari semuanya. Mungkin kau tidak menyadarinya. Aku tahu apa yang kau lakukan. Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tidak. Aku tidak bisa membaca pikiranmu.

Aku hanya duduk di bangkuku. 

Itu saja.

D-R-A-M-A

Speechless membaca postingan ini. Silahkan kau click link-nya, baca, lalu siap-siap terpana. Sekolah-sekolah di Amerika mempunyai klub drama tersendiri, mengadakan show di suatu ruangan kayak bioskop—para orang tua juga bisa ikut nonton—lalu dengan mengikuti klub drama di sekolah mereka mempunyai kesempatan untuk berakting di film box-office. Panggung tempat mereka beraksi dilengkapi dengan tata pencahayaan sempurna dan kain merah yang siap tersibak seiring alunan tepuk tangan—bukan dinaungi tenda kayak kondangan, dan sound-system canggih—bukan sound-system yang kadang-kadang ngadat. Untuk soundtrack, mereka menggunakan musik orkestra atau cukup alunan piano (yang dimainkan langsung saat pertunjukkan!) dan disediakan tempat khusus untuk para pemain musik. Mereka berakting dengan kostum ala film box-office—gaun-gaun cantik, baju besi dengan tameng dan pedang, jas-jas keren. Bahkan, ada kostum pohon dan buah-buahan. Salut dengan mereka yang menjahit sendiri kostum-kostum tersebut. Tata riasnya juga keren. Mereka pintar bikin luka buatan yang benar-benar mirip dengan luka beneran. Selain itu, pembagian tugasnya juga rata sekali. Ada bagian khusus menjahit kostum, make-up, dan kerennya lagi, semua orang memegang naskah (menurut yang aku baca di sini). Hal yang membuatku iri adalah ketika mereka antusias mempersiapkan segala macam tetek-bengek.
Ya, mungkin karena mereka sedang tidak berada di bawah paksaan.

Kalau sekolah-sekolah di Indonesia, kau ikut klub drama, dan hanya tampil jika ada event spesial di sekolah—demo ekskul atau meeting-class, misalnya. Kau tampil di lapangan dengan warga sekolah duduk menonton di tempat-tempat teduh, atau di dalam ruang kelas dengan teman-teman sekelas dan guru sebagai penonton. Lebih kerennya lagi, dalam pelajaran-pelajaran tertentu juga ada tugas drama. Menurut pengalaman pribadi, tugas drama hanya ada di Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Seni Budaya, dan itu tidak adil. Kau tidak bisa berakting, tidak bisa menyanyi, tidak bisa menari, atau tidak tertarik untuk terjun ke dunia drama tapi dipaksa untuk terjun. Kau lebih suka untuk duduk diam menonton pertunjukkan daripada repot-repot berakting, dan bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi daripada menunjuk orang seenaknya untuk berakting ini-itu. Well, menurut yang kulihat di film dan kubaca di majalah, sekolah-sekolah di Amerika dan di Indonesia (sekolah-sekolah tertentu) justru mengadakan audisi drama (bukan menyiksa murid-muridnya dengan memberi tugas drama), dan cerita yang dipakai adalah cerita karya penulis terkenal macam The Wizard of Oz, Oliver Twist, Romeo-Juliet, Macbeth, dll dst dsb dkk. Jadi, kau tidak perlu repot-repot berkutat dengan otak sepanjang hari memikirkan ide cerita.

Aku pernah baca di majalah kalau para aktris dan aktor Hollywood bisa menjadi seperti itu karena mereka tadinya ikut audisi di sekolah (produser film dkk sendiri yang menyeleksi), atau sering berakting di drama sekolah. Di Indonesia, kalau kau ingin jadi artis—maksudku, berakting di layar lebar atau iklan, kau harus uplot video dulu di YouTube (siap-siap terpana melihat hasil yang telah kau lakukan hanya dengan mengatup-atupkan mulut mengikuti irama lagu sambil joget-joget), menyanyikan sebuah lagu yang liriknya tak biasa, atau jalan-jalan di sebuah mall kece sambil berharap bisa bertemu dengan seorang produser film yang tertarik dengan wajah blasteran atau photogenic.

Siapa bilang bahasa Indonesia itu mudah?

Kalau boleh jujur, bahasa Indonesia bukan pelajaran favoritku. Bahkan waktu SD aku tidak berani bilang bahwa aku menyukai pelajaran bahasa Indonesia. Kenapa? Entahlah, aku juga tidak tahu. Hal yang kudapat di kelas bahasa Indonesia di sekolah, baik murid-muridnya dan sang guru hanya bertumpu pada buku paket—murid-murid mengerjakan berbagai pelatihan dan sang guru menerangkan materi. Atau murid-murid menerangkan materi dan sang guru duduk diam mendengarkan, berkomentar ketika murid-muridnya selesai menerangkan. Tugas terberat yang pernah kudapat sampai saat ini hanya menulis karya ilmiah, dan itu dijadikan tugas akhir di kelas 3—well, kecuali jika kau adalah seseorang yang brilian dalam dunia tulis-menulis, tugas itu bakal terasa mudah. Topik yang kupilih adalah tumbuhan di lingkungan sekolah. Sumber informasi hanya dari angket yang disebarkan di semua kelas dan internet. Well, ya, aku tidak menggunakan sumber buku (karena aku kelewat malas untuk mencarinya).

Ketika di SMA, entah mengapa aku menganggap mudah pelajaran bahasa Indonesia (jangan mengernyit begitu, tolong). Ya, memang mudah dalam materi mengarang cerita—jika kau seseorang yang mempunyai daya imajinasi tinggi—tapi tidak dalam meneliti jenis-jenis paragraf, jenis-jenis kalimat, bahkan membuat karya tulis ilmiah ala mahasiswa sebagai tugas akhir. Di SMA (maksudku almamater-ku saat ini), karya tulis yang telah kau ketik mesti diperiksa dulu sebelum diprint. Well, oke, itu cara yang bagus untuk mengetahui tingkat kepayahan dalam hal EyD dan keefektifan kalimat seseorang. Ironis, ternyata di luar sana masih banyak orang-orang yang belum bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Maksudku, kenapa bahasa alay masih eksis?

Para guru bahasa Indonesia seharusnya mengadakan seminar mengenai bagaimana cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebelum menyuruh murid-muridnya untuk membuat karya tulis. Ya, aku tahu semua WNI lancar berbahasa Indonesia, tapi berapa banyak orang yang mampu menggunakan EyD, diksi, dan frasa secara benar? Kalau bisa, para guru bahasa Indonesia juga mengadakan seminar bagaimana cara mengetik yang benar—kerjasama dengan guru komputer juga, kurasa. Maksudku, dalam hal pengaturan paragraf, jenis dan ukuran font, line spacing, ukuran kertas, dst dsb dll. Ya, aku tahu semua orang pintar dalam mengetik, tapi berapa banyak orang yang mampu merapihkan hasil ketikannya?

Mengapa di luar sana banyak yang menawarkan kursus bahasa Inggris dan bahasa-bahasa negara lain sedangkan bahasa negara sendiri cukup diajarkan di sekolah?

Aku tidak bilang bahwa bahasa Indonesia itu suatu pelajaran yang mudah.

Mari Mencari Nilai!

(masih) Tentang sekolah. Kau memberikan apa saja untuk sekolah. Maksudku, untuk apa sih kau rela meninggalkan kasur empuk dan selimut hangat di pagi-pagi buta? Jujur saja, hari favoritku adalah hari Jumat dan Sabtu. Setelah hari Jumat ada hari Sabtu setelah itu hari Minggu dan artinya aku bisa bangun lebih siang. Jam pulang juga lebih cepat. Tapi, mencoklang ke sekolah di hari Sabtu, mengenakan seragam membosankan sambil duduk diam di kursi mendengar ocehan guru, adalah ide buruk yang pernah terpikirkan. Maksudku, halo, hari Sabtu itu kan bagian dari weekend. Apa salahnya sih santai di rumah seperti orang kantoran yang telah menghabiskan 45 jam dalam seminggu? (as we know, lama waktu orang bekerja itu maksimal sembilan jam dalam satu hari. Ironis, sekolahku mengurung para siswanya selama sembilan jam juga. Jadi, coba bayangkan rasanya saat tidak ada guru yang menampakkan batang hidungnya di kelas. Hal yang bisa kau lakukan hanya duduk merosot di bangku, menguap lebar-lebar sambil berkali-kali melirik ke arah jam—mencoba bersabar menunggu waktu pulang). Sia-sia rasanya kau rela meninggalkan kasur empuk dan selimut hangat hanya untuk datang ke sekolah dengan ransel penuh buku tapi tidak ada satu pun guru yang masuk ke kelas.

Kurasa, sekarang tujuan bersekolah bukan lagi untuk mencari dan mendapat ilmu, tapi mencari dan mendapat nilai. Apa? Tak percaya? Oke, jadi buat apa kau melakukan aksi nyontek waktu ulangan selain untuk nilai sempurna? Buat apa kau menanyakan pertanyaan retoris sambil berharap guru menganggapmu siswa yang aktif lalu membubuhkan nilai sempurna di rapor? Buat apa kau menyalin tugas temanmu lalu mengirimnya ke e-mail gurumu? (oke, meskipun itu salinan, tapi kan tetap saja kau bakal mendapat nilai jika mengumpulkan). Everybody wants a perfect score. Yeah, I know. Sayangnya, para guru lebih senang melihat angka 100 menghiasi lembar jawaban murid-muridnya daripada memikirkan metode yang dilakukan murid-muridnya untuk mendapatkan jawaban-jawaban itu. Maksudku, hei, aku semalaman belajar tapi hanya mendapat 60 di lembar jawaban sedangkan mereka yang nyontek mendapat 80? Kurang tragis apa, sih? Meskipun ada saja guru yang lebih menghargai siswa dapat nilai nol karena dikira bekerja jujur. Meskipun ada saja guru yang mencoba membesarkan hati murid-muridnya dengan bilang bahwa kau tidak usah melihat hasil akhir, yang penting melihat seberapa besar usaha yang telah diberikan.

Adikku selalu belajar setiap malam. Dia bakal membawa buku banyak, menumpuknya, lalu melahapnya satu-persatu. Bahkan ketika dia akan menghadapi ulangan—alih-alih ulangan adalah suatu pertunjukkan musikal yang mesti disiapkan sesempurna mungkin, dia menghapal keras-keras materi bab sekian dan well, beruntungnya dia, materi yang dia hapalkan semalam ternyata menjadi soal ulangan. Dia berhasil mendapat dua keuntungan: proses dan hasil. Dia belajar sampai menghabiskan bertumpuk-tumpuk buku lalu mendapat nilai sempurna.

Nilai sempurna = prestasi = dirangkul para guru = diikutsertakan berbagai lomba = orang-orang seantero sekolah mencapmu sebagai seseorang yang pintar.

Things You Got at School

Sekolah, suatu ide buruk yang pernah terpikirkan—lebih buruk daripada mimpi paling buruk sekalipun. Ya, karena begitu kau membuka mata, mimpi buruk itu langsung buyar dan sore nanti kau bakal melupakannya. Beda dengan sekolah. Kau memejamkan mata, berharap dalam sekejap kau sudah berada di rumah saat membuka mata, tapi kenyataannya kau masih berada di sekolah, duduk diam mendengar guru mengoceh di depan kelas sementara waktu pulang masih lama.

Di sekolah, hal yang kau lakukan hanya duduk di bangku. Mengikuti pembelajaran, duduk di bangku. Mengerjakan tugas dan soal-soal ujian, duduk di bangku. Makan dan minum, duduk di bangku. Main laptop, duduk di bangku. Ngobrol sama teman, duduk di bangku. Tidur waktu jam kosong, duduk di bangku. Kebelet pipis tapi nggak berani ke toilet sendirian, duduk di bangku.

Sekolah, suatu tempat yang tidak begitu menyenangkan. Di mana kau menemukan aksi bullying, eh? Kau tidak dapat berakting tapi dipaksa mengikuti drama, atau kau tidak dapat memukul bola voli melewati net tapi dipaksa untuk memukul melewatinya, atau suaramu tidak begitu bagus tapi dipaksa berhenti nyanyi, atau kau mendapat nilai jelek lalu oleh gurumu kau diasingkan dengan anak-anak yang juga mendapat nilai jelek.

Selain itu, sinar matahari menyorot di mana-mana (tidak, aku bukan seorang vampir). Jujur saja, aku selalu merasa dekil ketika pulang sekolah. Brilian. Padahal kegiatan yang aku lakukan hanya duduk di bangku, pergi ke kantin yang jaraknya hanya beberapa langkah, pergi ke toilet yang jaraknya beberapa meter, dan pergi ke masjid sekolah yang jaraknya beberapa kelas. Aku tidak tahu apakah ini karena pengaruh suhu di sekolah yang lebih tinggi daripada di rumah, atmosfer sekolah—maksudku, mungkin karena keberadaan para penunggu sekolah atau asap ilmu pengetahuan yang memenuhi udara, atau bahan seragam yang dipakai. Coba bandingkan bahan kaus yang sedang kau pakai dengan seragammu. Beritahu aku jika kau menemukan orang yang sewangi di pagi hari saat jam pulang sekolah. Apa? Dia menghabiskan satu botol parfumnya hanya untuk sekolah?

Di sekolah kau bertemu berbagai macam karakter. Jika kau lebih memilih A daripada B, siap-siap saja dengan orang yang bakal menentang keputusanmu. Jika kau berpendapat A daripada B, siap-siap saja dengan orang yang bakal mengomentari pendapatmu. Jika kau salah langkah, oke, siap-siap saja menghadapi sindiran dan komentar, bahkan di dunia maya sekalipun.

Berbagai jenis tugas dan ujian juga merupakan ide buruk yang pernah terpikirkan. Tugas dan ujian membutuhkan berlembar-lembar kertas. Coba hitung berapa lembar kertas yang telah kau habiskan untuk tugas dan ujian, termasuk juga print ulang—jika kau melakukan revisi. Sesuai apa yang dikatakan media, menggunakan kertas bekas dan print bolak-balik mungkin bisa melestarikan hutan. Tapi, kurasa itu tidak mungkin (jangan mengernyit begitu, tolong). Bayangkan saja tugas makalahmu menggunakan kertas yang di baliknya terdapat gambar atau tulisan tidak penting seperti daftar barang impian, atau karya tulis yang diprint bolak-balik. Dengan banyaknya kertas yang dipakai, bayangkan tasmu akan bertambah berat—walaupun cuma beberapa gram. Aku setuju dengan kebijakan beberapa guru yang lebih memilih e-mail.

Jujur saja, aku lebih senang belajar di tempat kursus daripada di sekolah. Hal pertama yang aku sukai di tempat kursus adalah gurunya. Tidak, bukan karena ganteng atau cantik. Tapi, karena mereka ingat padaku—tidak hanya muka, tapi juga nama. Bayangkan saja rasanya para guru memanggil namamu dengan benar, bahkan nickname-mu. Bayangkan saja rasanya para guru memujimu ketika kau berhasil mengerjakan soal atau memainkan nada dengan benar. Hal kedua yang aku sukai adalah prestasi yang berhasil kudapat. Aku mungkin bisa menjadi ranking satu di tempat kursus, tapi mungkin tidak dapat ranking di sekolah. Ya, aku tahu itu aneh. Jangan mengernyit begitu. Hal ketiga yang aku sukai adalah ruang belajarnya—hanya terisi beberapa bangku dan meja, dan suhu ruangannya dingin. Bandingkan dengan sekolah yang penuh berisi bangku dan meja jelek, dan suhu ruangannya naik beberapa derajat daripada suhu di rumahmu.

Hal yang kusenangi dari sekolah adalah liburan. Oh well, jangan bilang kau lebih suka stay-tune di sekolah daripada di rumah. Selain itu, nikmat rasanya mempelajari buku-buku pelajaran dan mencoba menaklukan soal-soal latihan di malam hari. Hal yang kubenci adalah tugas-tugas yang kadangkala tidak dapat diterima akal. Merangkum bab sekian lalu menulis ulang di buku tulis padahal kau tinggal menandai buku paketmu dengan stabilo? Seriously?

Well, semua pelajar pasti lulus dari sekolah, ngomong-ngomong. Hanya saja, kapan lulusnya itu yang membuatmu terus bertanya-tanya. Aku bosan pakai seragam dan mendapat tugas yang sama setiap hari (kalau bukan tugas persentasi kelompok, pasti tugas tulis-menulis).

Kapan aku lulus, sih?

Sword words might live forever

Suatu malam di bulan Ramadhan, aku sedang duduk menunggu waktu shalat tiba sambil memperhatikan jamaah masjid yang baru datang dari rumah masing-masing. Seorang ibu menggelar sajadah di saf belakangku dan dia datang bersama anak perempuannya.

“Bu, aku lupa membawa sajadah,” kata anak itu. Aku tidak memperhatikan ekspresinya, tapi aku yakin dia sedang gemetaran hebat.

“Dasar bodoh! Bagaimana kau bisa lupa?” tukas ibu anak itu.

Well oke, jika kau menjadi anak perempuan itu, apa yang bakal kau rasakan saat dikatakan ‘bodoh’ oleh ibu-mu sendiri?

Beberapa orang kadangkala mengucapkan kata kasar di akhir kalimat. Ada dua kemungkinan mengapa mereka mengucapkan kata itu: pertama, karena sudah menjadi kebiasaan, dan kedua, karena kesabaran mereka telah menguap dan berbaur dengan uap air yang ada. Aku tidak habis pikir kenapa kau bisa bilang ‘bodoh’ ketika seseorang lupa membawa sajadah.

Guru Agama Islam-ku pernah bilang, ditampar dengan kata kasar lebih menyakitkan daripada ditampar dengan tangan. Kesimpulannya, sword words might live forever.

Langsung to-the-point, aku benci mendengar seseorang dikatakan bodoh, seolah orang yang bilang ‘bodoh’ lebih brilian daripada orang yang dibilang ‘bodoh’.

Halo, Bu. Jika kau memang pintar, mengapa tidak kau berbagi sajadah berdua saja dengan anakmu daripada repot-repot bilang ‘bodoh’?

Hidup itu (kadang-kadang) tidak adil

Apakah kau pernah merasa tidak adil dengan nilai-nilai yang kau dapat di sekolah? Maksudku, seminggu sebelum ujian kau sibuk melahap berbagai buku lalu menjawab soal-soal ujian yang diberikan sewaras mungkin bahkan dengan penjabaran yang lumayan panjang tapi tiba-tiba nilai yang kau dapat tidak sebanding dengan segala jerih-payah dan melakukannya tanpa menyontek—selama ujian berlangsung. Padahal, teman-temanmu yang lain sengaja mengosongkan jawaban di lembar soal—karena tidak tahu harus memberikan jawaban waras apa lagi, melahap berbagai buku mendadak di pagi hari ujian, dan memperbincangkan jawaban untuk soal sekian ketika pengawas ruangan pergi keluar kelas sebentar sampai waktu ujian habis untuk melihat pemandangan tapi nilai-nilai yang mereka dapat lebih mending daripada punyamu. Ambil contoh begini, kau dapat nilai lima sedangkan teman-temanmu dapat nilai tujuh. Well, meskipun bukan nilai sepuluh, tapi kan tetap saja.

Oke, kau boleh percaya atau tidak. Tapi, aku sering mengalami hal itu. Tidak, tidak. Jangan bayangkan aku sebagai seseorang sepintar Hermione Granger yang ransel-nya berat karena buku-buku setebal batu bata dan hobi begadang untuk mengerjakan tugas dan selalu menjadi orang pertama yang mengangkat tangan di kelas. Meskipun di hari tertentu ransel-ku menjadi berat karena bawa buku, tapi aku tidak bilang aku sering membaca buku-buku itu sampai larut malam. Mungkin kau sudah tahu bahwa aku selalu ragu untuk mengemukakan pendapat di kelas.

Ketika aku melihat nilai-nilai-ku di Semester Dua kemarin, jujur saja, aku rada kecewa karena menurutku nilai-nilai di situ nggak seimbang dengan segala jerih-payah. Maksudku, hei, aku pernah mendapat dua nilai mengagumkan di kelas Kimia dan kujawab soal dengan jawaban sewaras mungkin saat UKK dan kukerjakan semua tugas yang diberikan tapi ternyata nilaiku malah pas-pasan di atas kertas rapor (jangan mengernyit begitu, aku tidak bermaksud untuk pamer). Meskipun nilainya berhasil melampaui passing-grade, aku tidak tahu harus teriak YAY atau NAY. Hal yang membuatku galau adalah begitu mengetahui nilai teman-teman yang lain.

Seorang guru pernah bilang begini, “Lebih baik kau paham materi daripada nilai jeblok”. Oke, aku tidak tahu apakah ada yang salah dari pernyataan ini. Bukankah jika kau paham materi yang telah diajarkan dengan begitu kau bisa menjawab soal-soal ulangan dengan waras kemudian mendapat nilai bagus? Tapi, bisa saja sih kau mendadak lupa materi saat berhadapan dengan soal, atau salah mengisi jawaban—harusnya di nomor dua tapi malah di nomor enam, atau keberuntungan belum berpihak padamu (dan ini artinya barangkali kau harus segera minta secangkir ramuan Felix Felicis kepada Profesor Horace Slughron).

Aku belum pernah merasakan jadi seorang guru yang harus menilai pekerjaan murid-muridnya lalu menulis hasil akhir kerja keras mereka di atas kertas rapor, jadi aku tidak bisa berkomentar banyak mengenai hal nilai-menilai ini. Aku tidak tahu persis kriteria apa saja untuk mendapat nilai lumayan di rapor. Barangkali, para guru menilai sikap seorang siswa di kelas—apakah dia sering mengangkat tangan untuk menanyakan hal-hal yang cerdas atau sering menyeret dirinya ke depan kelas untuk mengerjakan soal. Tapi, di setiap kelas yang kuikuti, hukum itu selalu berlaku. Jadi, jika kau seorang siswa yang hanya duduk diam mendengarkan, ragu untuk menanyakan hal-hal yang cerdas karena takut dianggap hanya pertanyaan konyol, dan tidak mau repot-repot mengerjakan soal di papan tulis—karena di buku kau juga bisa mengerjakannya, maka bersiap-siaplah untuk mendapat nilai yang, umm, oke, haruskah aku mengatakannya?

Mungkin ini karena sifat dasar manusia yang tidak pernah puas. Maksudku, begitu mendapat nilai-nilai yang tidak sesuai harapan. Tapi, well, setidaknya senang dong dapat nilai hasil jerih-payah sendiri.

Random thoughts

Jangan khawatir. Aku tidak akan membubuhkan “Dear Diary” di awal paragraf—meskipun kali ini aku mau umm, curhat colongan. Apa salahnya sih jika ini blog milikku yang diurus sendiri olehku? Tidak, tidak. Aku tidak akan memaki orang atau menyindir orang (kuharap begitu)—satu hal yang bisa kau lakukan di dunia maya dan membuat ge-er sejuta umat yang membacanya, iya kan? Tenang saja. Aku hanya ingin berbagi pendapatku. Sangat setuju dengan Greg Heffley bahwa ini bukan diary, tapi jurnal.

Hal ini selalu terjadi. Maksudku, beberapa jam sebelum hari pertama masuk sekolah dimulai. Saat aku masih terombang-ambing dengan ombak liburan, malas menyiapkan segalanya untuk besok (buku-buku, tas, seragam, bahkan semangat baru—oke, mungkin lain kali aku harus minum Coca-Cola dulu sebelum melahap setangkup roti sarapan), bahkan bermacam-macam pikiran melintas di benakku. Dari mulai membayangkan di sekolah besok akan terjadi apa—bagaimana jika seseorang yang kukenal tiba-tiba memandangku dengan tatapan sinis tanpa alasan yang jelas atau tiba-tiba susah mengejar prestasi teman-teman di kelas lalu menjadi orang terbodoh di kelas, dan pikiran-pikiran yang berawalan ‘bagaimana jika’ lainnya. Tapi, yang sering kupikirkan adalah sikap teman-temanku besok di hari pertama sekolah, dari teman sekelas sampai teman dekat. Aku sering membayangkan sikap mereka berubah selama liburan, siapa tahu begitu bertemu di kelas, mereka sepakat untuk menjaga jarak bahkan tidak sudi berbicara lagi denganku. Iya, aku tahu itu bodoh sekali. Memangnya apa sih yang kulakukan terhadap mereka selama liburan berlangsung? Aku hanya menikmati liburan, mereka juga begitu, kadang-kadang saling SMS-an. Tapi, iya aku tahu, aku tidak bersikap untuk memusuhi mereka jadi buat apa aku sibuk cemas dengan sikap mereka besok di hari pertama sekolah? Tetap saja, meskipun aku tahu logika yang benar, aku selalu membayangkan hal-hal buruk yang bakal terjadi di sekolah nanti.

To be honest, I’m not that Miss Social, yang selalu hang-out bareng teman-teman dekat, punya ‘followers’ dan ‘friends’ banyak, selalu mention atau wall-to-wall setiap malam dengan banyak orang, disapa banyak orang ketika berjalan di koridor, nope I’m not. Kalau boleh kukatakan secara jelas, I’m not that exist person.

Tidak. Aku tidak sedih karena bukan seseorang yang eksis. Punya teman yang bisa diajak ngobrol berbagai hal dan tidak mudah langsung judging ketika aku mengungkapkan uneg-uneg sudah cukup, kok (dan aku baru mengetahuinya bahwa ini artinya dia adalah seseorang yang bisa kausebut sahabat).

Kadang-kadang aku merasa ‘berbeda’ seperti Thestral dari semua orang di sekolah. Tidak, bukan karena wujudku transparan, berwarna hitam legam, dan punya sayap. Maksudku, jika aku lebih suka mendeklarasikan berbagai pikiran yang terlintas di benak ke dalam kolom updet Twitter atau Blogger daripada mengomentari kegiatan seseorang di seberang pintu sana, jika aku lebih senang berjalan-jalan di toko buku daripada di toko aksesoris bercat merah muda, jika aku lebih suka merawat buku daripada merawat rambut, jika aku memutuskan untuk mencoba mengerjakan soal-soal Kimia atau Math daripada menundanya dengan bergosip, jika aku lebih suka membaca novel beraliran dongeng-fantasi daripada novel yang penuh dengan kata ‘gue-elo’ di dalamnya, jika aku lebih suka membicarakan Harry Potter daripada hubungan si A dengan si B, jika aku tenang-tenang saja ketika hape-ku tidak berdering seharian daripada mengeluh betapa hape-ku seperti bangkai, jika aku lebih enjoy berjalan di belakang teman-teman, mendengarkan semua percakapan mereka daripada sibuk bercerita dengan semangat meluap-luap di depan teman-teman, jika aku diam ketika pengawas ruangan pergi daripada ribut menanyakan jawaban, jika aku mendapat nilai ulangan jelek meskipun semalam aku telah belajar daripada mendapat nilai lumayan meskipun belajar beberapa menit sebelum ulangan, jika aku enjoy berjalan-jalan sendirian daripada merengek minta ditemani, jika aku lebih memilih menunggu DVD film itu rilis daripada mengantri di depan loket, jika aku lebih memilih untuk mempublikasikan postingan blog terbaru daripada status terbaru, jika aku sebal ketika liburan berakhir daripada tidak sabar untuk kembali ke sekolah ketika liburan berakhir. Itu hanya sepersekian dari sepersekian ‘jika aku’.

Tapi, aku juga melakukan kegiatan yang biasa dilakukan. Aku menikmati Justin Bieber (maksudku lagu-lagunya, bukan orangnya) dan Taylor Swift dan lagu-lagu lainnya, aku pergi ke salon untuk merapikan rambut, aku mendengarkan cerita-cerita teman tentang cowoknya, aku sering curhat colongan ke teman-teman dekat, bahkan aku jengkel setengah mampus saat jerawat bertambah. Aku tidak tahu mengapa aku merasa ‘berbeda’ dengan semua teman di sekolah. Aku tidak tahu persis tingkah laku seseorang saat sedang mencari jati dirinya. Aku tidak tahu apakah ini bisa dibilang aku sedang galau. Aku tidak tahu apakah ini normal terjadi di usia 16 tahun.

Saat mengetahui ada seseorang di luar sana yang ternyata sependapat, sepaham, dan sepikiran denganku, aku merasa lumayan lega. Sama leganya seperti mengetahui teman sebangkumu ternyata belum mengerjakan tugas juga.

Orang-orang yang sependapat, sepaham, dan sepikiran dirimu bisa saja banyak jumlahnya di luar sana. Hal yang kau lakukan hanya menyisihkan sebagian waktu untuk mencari mereka.

Oke. Itu saja mungkin. Maaf jika aku terlalu berlebihan dalam menyampaikan pikiran-pikiran random yang sibuk malang-melintang akhir-akhir ini. Hei, jangan sambil mengerutkan kening begitu ketika kau membacanya. Anggap saja ini hanya pikiran khas seorang pelajar culun berumur 16 tahun.

Selamat tinggal, dear liburan!

What a heaven. Pagi hari pertama masuk sekolah setelah libur Lebaran dua minggu (yang kurasa terlalu singkat untuk menyelesaikan semua tugas-hari-raya dan menikmati kota Solo) dilewatkan tanpa sakit perut mendadak seolah ada segerombolan cacing Flobber (apa itu cacing Flobber? Kau bisa menemukannya di buku ketiga Harry Potter-red) berlari-lari di dalam usus, seperti biasa yang kualami dalam perjalanan menuju sekolah. Ditambah lagi dengan pikiran bahwa begitu aku masuk ke dalam kelas, semua orang sepakat untuk menjaga jarak dariku dan tidak mau repot-repot lagi membicarakan agenda liburan denganku. Padahal semalam aku sibuk misuh-misuh sendiri betapa liburan sangat singkat dan tugas-hari-raya belum bisa disebut 100% rampung, dan membayangkan keadaan besok di sekolah seperti apa—apakah dilewatkan dengan segerombolan Dementor yang menyerang tiba-tiba sehingga aku harus memikirkan satu kenangan yang paling indah atau para guru sepakat mengubah jam pulang sekolah menjadi lebih cepat. Astaga, siapa sih murid yang bersemangat kembali ke sekolah setelah liburan? Bukan aku.

Tapi ternyata, di sekolah biasa saja—maksudku tidak ada segerombolan Dementor, tentu saja. Pagi hari diawali dengan temu-kangen bersama teman-teman di kelas, saling berjabat tangan, dan bertukar cerita tentang perjalanan mudik yang dihabiskan berjam-jam di dalam mobil. Lalu, seperti tradisi sekolah lainnya: saling berjabat tangan dengan warga sekolah (hal yang kau lakukan hanya berjalan berkeliling di lapangan sambil mengulurkan tangan dan memamerkan senyum terbaikmu). Kabar bagus hari ini: para guru memutuskan untuk mengubah jam pulang sekolah menjadi lebih cepat bahkan tidak ada kegiatan-belajar-mengajar dan well, oke—meskipun kurasa kabar ini biasa saja: seorang siswa pertukaran pelajar dari luar negeri akhirnya menuntut ilmu di sekolahku, dan dia cowok. Dia jangkung dan berambut cokelat. Tidak, aku tidak bilang dia ganteng. Tapi, yang terpenting di hari pertama masuk sekolah adalah semua orang tidak jadi sepakat untuk menjaga jarak dariku.

Harus kukatakan begitu masuk sekolah, kegiatan yang kau lakukan selain duduk diam mendengarkan guru adalah bergosip. Well, aku tidak tahu apakah hal ini berlaku juga kepada para cowok, tapi satu hal yang membanggakan adalah para cewek tidak pernah kehabisan topik untuk bergosip. Saat orang menyebalkan lewat di depanmu, orang itu akan menjadi obrolan yang tak ada habisnya. Jadi maksudku, kau sudah berpuasa selama satu bulan dan kembali kepada hari yang fitri, tapi tetap saja begitu masuk sekolah dosa-mu bertambah lagi. Hal apa sih yang kulakukan di rumah waktu minggu pertama liburan selain menonton film, membaca buku, dan tamasya ke Dunia Maya? Tidak, aku tidak bilang aku sibuk mengerjakan semua tugas-hari-raya. Jadi, begitu melihat kalender bahwa besok waktunya untuk kembali ke sekolah, aku teringat dengan tugas-hari-raya, dari mulai membuat peta India sampai mengerjakan soal-soal Math. Jujur saja, aku malas mengerjakannya. Lagipula, siapa sih murid yang bersemangat menyelesaikan tugas di hari libur? Bukan aku. Aku selalu berharap di malam Lailatul Qadar aku mendapat semacam hikmah untuk segera berkutat dengan tugas-hari-raya. Tapi ternyata, sama saja. Eh, halo, maksudku aku tidak sama-sekali tidak mengerjakan tugas-hari-raya, aku mencoba menyelesaikan beberapa. Setidaknya tugas Math rampung beberapa nomor dan peta India sukses tergambar di buku.

Siapa sih murid yang merindukan bulan Ramadhan ketika waktu belajar di sekolah menjadi lebih singkat bahkan lebih santai, malamnya dilewatkan dengan shalat Tarawih bahkan tanpa tugas dari sekolah setelah itu mendapat liburan selama dua minggu untuk dilewatkan di rumah mBah Solo? Aku.

Another social network, another status

Orang-orang di sekolah sedang sibuk mempromosikan akun terbaru mereka di suatu situs jejaring sosial yang sedang mendunia dan menjadi trending topic di Twitter, Heello. Well, hal yang mereka lakukan untuk mempromosikan diri hanyalah mengirim suatu pesan ke dalam telepon genggam semua teman—mengetik nama akun Heello mereka yang telah sukses aktif dalam sepersekian detik lalu. Aku tak habis pikir mengapa orang-orang dalam sekejap berbondong-bondong mendaftarkan diri ke Heello setelah mendapati bahwa seseorang mengumumkan dirinya telah terdaftar di sana. Heello dan Twitter hampir kembaran, ngomong-ngomong. Di peradaban Twitter, kau menyebutnya ‘tweet’, sedangkan di peradaban Heello kau menyebutkan ‘ping.’ Di peradaban Twitter, kau menyebutnya ‘follow’, ‘followers’, dan ‘following’, sedangkan di peradaban Heello kau menyebutnya ‘listen’, ‘listeners’, dan ‘listening.’

Astaga. Kegiatan apa lagi sih yang dapat kau lakukan di dunia jejaring sosial selain updet status dan foto profil, hmm?

Lagipula, mempunyai segunung akun jejaring sosial itu lumayan menantang—kau harus memikirkan berbagai kalimat yang mesti ditulis di kolom status. Well yeah, yang dapat menimbulkan sensasi, tentu saja. Maksudku, mengundang sekumpulan orang untuk setuju dengan status-mu sampai me-retweet-nya atau melancarkan aksi angkat jempol kepadamu. Jujur saja, aku sering menemukan berbagai macam status berbahasa ala orang-orang bijaksana. Dan wow, tak sedikit juga pengguna akun yang bersedia untuk mengangkat jempol mereka tinggi-tinggi. Jika kau mempunyai segunung akun jejaring sosial, suatu hari kau akan mendapati suatu keadaan di mana kau kehabisan ide untuk updet status dan jalan pintas yang dapat kau gunakan adalah copy-paste.

Mungkin mempunyai beberapa akun jejaring sosial itu gaul, sama gaul-nya jika seseorang menggenggam sebuah telepon genggam pintar berjumlah 40 tombol, atau jika seseorang telah membaca novel terbaru @Poconggg atau menonton Harry Potter 7 part 2.

Nope. I don’t have Heello account. Punya Twitter saja aku udah bangga.

Sekelumit humor

Lila mengetik ini di laptopnya;

Mr. Fox has a face just like a ratty.

Mrs. Giraffe has a body just like an elephant.

…dan aku tertawa ketika membaca kalimat kedua.


(Di-copy-paste dari sini)

p.s. Kejadian ini telah terjadi beberapa bulan yang lalu. Aku tidak tahu dari mana si Lila mendapatkan suatu inspirasi untuk menulis kedua kalimat di atas.

Jawab saja jika kau memang mau

1. “Kau bisa melihat gugusan bintang di arah Barat sana? Dapatkah kau memberitahukan kepadaku berapa nilai sudut sinus, cosinus, dan tangent dari gugusan bintang itu?” tanya salah seorang teman yang satu tenda denganmu ketika kau sedang mengikuti sebuah perkemahan.

2. “Aku butuh bantuanmu, tolong. Bisakah kau memberitahuku berapa dioptri kekuatan lensa kacamataku ini?” jerit seorang wanita separuh baya ketika kau sedang berada di sebuah klinik dokter mata.

3. “Hei, Nak. Kau lihat jamur ini? Aku bertanya-tanya bagaimana dia melakukan pembuahan. Maukah kau menjelaskannya kepadaku, please?” tanya seorang tukang kebun sambil membawa sebungkus plastik berisi Amanita sp dan Pteridophyta ketika kau sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah.

4. “Aku tidak mengerti dengan ini. Apakah senyawa ini bisa disebut senyawa redoks?” bisik seorang bapak sambil memberikan selembar kertas berisi berbagai macam senyawa ketika kau sedang berbelanja di sebuah supermarket.

Kadang-kadang aku membayangkan ini. Hal-hal yang kau pelajari di sekolah akhirnya ditanyakan oleh sekelumit orang yang begitu penasaran. Apa yang akan kau jawab kepada mereka? Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?

(Di-copy-paste dari sini)

p.s. Kau tahu bagaimana rasanya saat suatu hari kau iseng membaca-baca jurnal lama dan menemukan berbagai hal menarik yang telah kau tulis dan nyaris tak dapat percaya bahwa kau-lah orang yang menulis jurnal menarik itu.

Satu hal yang sangat tidak kau inginkan saat ngoceh di depan publik

Barangkali kau pernah merasakan menjadi seorang public-speaker—itu loh seseorang yang kerjanya mengoceh di depan publik mengenai berbagai hal: tentang agama, politik, pendidikan dst dsb dll etc dkk. Untuk menjadi seorang public-speaker, kau harus pintar mengoceh menguasai materi yang bakal kau sampaikan di depan khalayak dan tentu saja, percaya diri. Sayangnya, aku tidak memiliki bakat menjadi seorang public-speaker (contohnya: begitu dipanggil guru untuk berdiri di depan kelas, jantungku langsung berdentum tak karuan, tidak bisa menyusun frasa-frasa secara lugas—karena jika kau berhenti sejenak untuk memikirkannya, maka kau akan kelihatan konyol di depan publik—apalagi jika disorot kamera).

Entah alasan macam apa yang membuatku ditunjuk menjadi seorang public-speaker. Tampangku meyakinkan, barangkali. Sekolah mengadakan acara bernama “Tujuh Lomba Islami” yang di dalamnya ada: MSQ, membuat kaligrafi, adzan, cerdas-cermat, khutbah, nasyid, dan satu lagi lomba yang mirip-mirip MSQ, tapi aku lupa apa namanya. Tentu saja bukan aku yang mengajukan diri untuk menjadi peserta. Tiba-tiba saja aku menjadi seseorang yang berpidato mengenai hal keagamaan, sedangkan kedua temanku menjadi pembaca Al-quran dan pembaca terjemahan.

Begitu pulang dari sekolah, aku langsung melahap materi yang diberikan, tentang golongan-golongan orang yang merugi di bulan Ramadhan. Oke, kupikir ini mudah dan besok pasti aku bisa menjelaskannya secara lancar di hadapan publik.

Tapi, prediksi-ku salah besar.

Aku membuka pidato-ku dengan gaya-ku sendiri—maksudnya, gaya pembacaan salamku nggak seperti gaya para finalis Pildacil yang nadanya mengalun ceria (well yeah, jangan katakan aku seseorang yang hobi bermuram-durja sepanjang hari), ucapan syukur basa-basi seperlunya—seperti “Alhamdulillah, atas nikmat Allah SWT di hari ini kita dapat berkumpul dalam keadaan sehat wal’afiat” and those blablas.

Kemudian, aku mulai menyampaikan materi, dan saat tiba gilirannya, kedua temanku melaksanakan tugas masing-masing.

Saat aku selesai mengucapkan, “Golongan merugi yang selanjutnya adalah…”, kalimatku menggantung di langit-langit ruangan disebabkan kartu memori otakku tiba-tiba ngadat. Aku menggigit bibir bawahku, mencoba mengingat-ingat golongan merugi macam apa yang bakal muncul selanjutnya. Kuperhatikan para juri dan audience, eh, mereka malah menatapku balik sementara jam dinding berdetik, menciptakan atmosfer yang sangat awkward di dalam ruangan. Hening sejenak, para audience menunggu kalimatku berlanjut atau seorang juri yang menggemakan kata “cukup”. Setelah beberapa detik, kartu memori-ku fix kembali, menyusun untaian kata yang tadi sempat menggantung. Kusampaikan materi dengan nada cepat, tidak ingin berdiri lama-lama di situ.

Begitu selesai mengucap salam penutup, otot-ototku menjadi kebas karena menahan atmosfer ketegangan (untung nggak ada segerombolan Dementor di dalam ruangan). Rasanya seperti ngebelah atmosfer berlapis-lapis, meluncur bareng paus akrobatik, dan ngebut menuju rasi bintang paling manis.

Pow-Pow Rules

Masih ingat dengan Pow-Pow, kucing putih Karanganyar? Liburan kemarin, kami ketemu lagi dengan Pow-Pow, melepas rindu. Saat melihat Pow-Pow lagi berjalan-jalan di sekitar rumah, aku langsung lari memeluknya dengan adegan slow-motion—tapi bohong, anggap saja aku tidak menulisnya, ok?


Well, aku lupa tampang Pow-Pow dan aku baru menyadari kalau tubuhnya sekarang lebih besar daripada dulu. Tapi, kelakuannya sama aja sih, masih suka dielus-elus dan tidur di sofa.


Mbah pernah cerita, dulu Pow-Pow diusir dari rumah karena ketahuan makan bayi-bayi kelinci (di Karanganyar, selain ada ayam, juga ada kelinci). Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba Pow-Pow pulang ke rumah bawa teman-temannya. Mungkin Pow-Pow menjanjikan kepada teman-temannya bahwa mereka akan diberi berbagai makanan lezat dan kehidupan yang layak bagi kucing jalanan. Tapi, keberadaan teman-temannya sekarang tidak tahu di mana.

Menyelami laut biru dan membenamkan kaki di pasir putihnya

Empat hari liburan kuhabiskan di Lombok (dan kau tidak akan menemukan tumpukan-tumpukan cabai di mana-mana, karena kata Lombok di sini bukan berarti cabai). Aku menemukan kaus bertuliskan Lombok Bukan Cabe, Deh dengan gambar cabai merah besar di beberapa toko souvenir. Ada penjelasan di bawahnya kalau Lombok itu artinya lurus, dari bahasa Sasak. Well, kukira aku akan menemukan banyak tumbuhan cabai di pulau ini, tapi ternyata tidak. Jika kau mengunjungi Pulau Lombok, kau akan menemukan pemandangan alamnya yang indah (dan itulah salah satu alasannya mengapa banyak turis asing di sini).

Finally we met Voldy at Malioboro!

Saat menunggu kereta menuju Jogja, otakku sibuk membayangkan keadaan di dalam kereta yang sesak oleh orang, bau—maksudku bau asap rokok, dan tidak ada tempat duduk sama sekali bahkan benda untuk pegangan tangan—seperti yang ada di busway. Tapi ternyata imajinasi-ku terlampau jauh. Oke, berdesak-desakkan memang terjadi, soalnya orang-orang yang pergi ke Jogja naik kereta nggak sedikit. Begitu kereta berhenti dan pintu-pintu gerbong terbuka, semua orang langsung rebutan tempat duduk dan malang sekali bagi para penumpang yang mendapatkan nasib berdiri-selama-perjalanan. Dan di dalam kereta ternyata nggak bau asap rokok dan tempat duduk tersedia di sisi kiri-kanan dan… kereta lumayan bersih—di dalam gerbongku, sih.

Tanyakan pada cemara yang menderai jauh...

Suatu hari, sekolahmu mengadakan suatu event satu tahun sekali bernama Pagelbud (Pagelaran Seni dan Budaya). Itu artinya, kau bisa tampil di depan warga sekolah. Lagipula di usia-mu yang sekarang, kau sedang dalam masa pencarian jati diri.

Expectation:
Kau yang membuat rhapsody-nya, kau yang mengatur alunan musiknya, kau yang berdiri di depan teman-teman sekelasmu sambil menggenggam sebatang tongkat kayu ala konduktor layaknya August Rush. Dan ketika alunan musik selesai, serentak penonton memberikan standing-applause yang keras dan panjang lalu kemudian kelasmu dinobatkan sebagai juara pertama ditambah kategori-kategori-nya yang ber-awalan The Best.

Reality:
Kau tidak mengerti teori not balok, kau tidak bisa memainkan biola atau contra-bass atau harpa, dan kau tidak pernah menyentuh—walaupun hanya jari kelingking—tongkat kayu ala konduktor. Kau hanya berdiri di belakang panggung, menyaksikan segala penampilan teman-temanmu—berperan sebagai narator yang tidak penting untuk didengar penonton.


Well, lebih baik dimulai saja, ya, postingannya.

Tema Pagelbud kali ini adalah "Green Day" (bukan band). Oke, kurasa aku tidak perlu menjelaskan lagi apa itu "Green Day" (dan tolong deh, jangan bayangkan satu hari di mana semua komponen di Bumi ini menjadi berwarna hijau). Dan kelasku memberikan suguhan drama tentang seorang gadis yang menentang penebangan hutan buat dijadikan pusat perbelanjaan. Pagelbud nggak hanya menyajikan drama, tapi juga vocal group, dance, nari Jaipong, penyanyi solo putra-putri, pembacaan puisi, yel-yel kelas, dan nyanyi duet putra-putri.

Kau boleh percaya atau tidak, tadinya aku ditunjuk sebagai pembaca puisi. Well, jujur saja, aku merasa bangga setengah mampus. Dan ketika aku beraksi membacakan puisi karya salah seorang penyair legendaris, banyak orang mengomentari gaya membacaku (dan sayangnya itu bukan komentar yang membanggakan). Karena komentar itu, aku jadi galau—bertanya-tanya kepada cemara yang menderai jauh, bagaimana caranya membaca puisi yang bisa membuat penonton stunned. Jadi, aku mengundurkan diri lalu ta-da, tiba-tiba aku menjadi seorang narator.

Latihan Pagelbud dimulai lagi setelah Ulangan Kenaikan Kelas—dan kegiatanku sejak itu adalah mewarnai latar, latihan drama, menonton dance dan vocal group latihan, memandangi jam setiap beberapa menit sekali sambil bertanya-tanya kapan latihan selesai. Dan tentu saja ada perbedaan pendapat antar teman, tangis-tangisan, revisi naskah drama berkali-kali ketika latihan, dan blablabla dan blablabla.

Akhirnya, di hari Selasa (maksudku, hari ini) aku bisa mengurut dada, menghembuskan napas merdeka, jingkrak-jingkrak kayak orang gila, nari tap seharian, gigit-gigit senar gitar sampai putus saking bahagia setelah tampil (oke, meskipun aku hanya sebagai narator, but that means: no more latihan, no more pulang petang lagi).

Pagelbud sudah selesai, tidak ada lagi Ujian Kenaikan Kelas. Jujur saja ya, soal-soal ujian tahun ini lumayan gampang, loh (soalnya aku bisa mengerjakannya walaupun err... asal-asalan).

P.s. Apakah Pagelbud kelasku menjadi juara? Apakah aku menjadi anak IPA atau IPS? Bagaimana nilai-nilaiku di semester ini? Entahlah. Silahkan tanya pada cemara yang menderai jauh.

Proyek terakhir SenRup

Finally! Another SenRup’s project: mendesain label sebuah produk—bisa produk makanan, minuman, obat, dst dsb dll blah blah blah. Dan ini adalah proyek terakhir di kelas X. Setelah itu, di kelas XI kau terbebas dari berbagai proyek SenRup—well, begitulah yang kudengar (dan kurasa, aku akan sangat merindukannya). Proyek cover buku udah dibagikan dan guess what, berapa nilai yang kugenggam? Angka tujuh dan nol: 70. Nggak plus atau minus dan itu err—agak mengecewakan. Padahal menurutku itu yang paling dazzling di antara masterpiece-ku yang lain (aku suka desain tangan-yang-seolah-hendak-menggenggam-Bumi, warna biru-nya, dan warna kuning ala stabilo-nya). Oh tentu saja, kan aku yang bikin.

Ketika Mr. T menjelaskan tentang contoh-contoh desain label, aku sibuk berimajinasi. Label berbentuk mangkuk sereal terbesit di pikiranku (terinspirasi dari mangkuk sereal ala game “Burger Shop 2”, ngomong-ngomong). Dan merk “Alphabet” yang muncul berikutnya. Sampai di rumah, aku tidak segera menuangkan ide itu di atas kertas gambar yang bagian lain bertekstur kasar dan bagian lainnya bertekstur halus. Padahal deadline hari Selasa tanggal 8.

Akhirnya di Minggu malam, proyek itu berhasil.

Cat siapa yang kupakai? Untuk background dan tulisan, aku pakai cat poster punya my sista. Ah siaul, dia punya cat poster juga ternyata. Untuk yang lain kupakai cat-ku sendiri (yang tutupnya nggak bisa dibuka karena ada sebagian yang kering duluan).

Well, mari silangkan jari, kalau begitu. Semoga kali ini nilai-ku memuaskan.

Ngomong-ngomong tentang sekolah, di suatu hari Jumat kelasku diajar oleh seorang guru dari Malaysia. Namanya Miss Mimi dan dia cantik, tinggi, friendly, ekspresif, dan cerdas. Serius nih, aku malas sekalililili jika ada pelajaran Bahasa Inggris di sekolah. Tapi, karena diajar Miss Mimi, kelas Bahasa Inggris jadi fun. I love the way she speaks in English, fluently. Dan guess what, dia bisa menirukan aksen British (walaupun hanya sedikit). Sedihnya, dia hanya stay selama enam minggu. Kelasku nggak sempat berfoto bareng dengannya, sayang sekali.

KIM-ia Itu Asyik

Hari Senin tanggal 16 Mei sampai dengan hari Jumat tanggal 20 Mei, aku beserta para pelajar Smansa kelas X dan XI – (minus kelas XII yang lagi sibuk berbahagia karena lulus UN dan menjalani misi pencarian universitas) cuti sekolah karena Para Junior Baru sedang berkutat dengan soal-soal ujian seleksi. Cuti sekolah seminggu, eh, lima hari BUKAN berarti bebas dari kewajiban belajar – dan kalimat ini memang benar: “Untuk kelas X dan XI, hari Senin sampai Jumat BELAJAR DI RUMAH.

Mrs. I memberikan setumpuk tugas Kimia yang terdiri atas Stoikiometri, Trio Hidrokarbon, Minyak Bumi dan Gas Alam, dan Konsep Reduksi-Oksidasi. Kuberitahu kau, ya. Stoikiometri sendiri terdiri atas 70 soal Pilihan Ganda dan 20 soal Essay (dan 20 soal itu beranak-pinak pula). Jadi, bisa kauduga, kan, waktu cuti sekolah ini kencan dengan Kimia melulu?

Setelah serah-terima-tugas dari Mrs. I, tiba-tiba Mr. U memberikan tugas merangkum materi Bahasa Indonesia, "Media Grafis." Oke. Jadi, kegiatanku di rumah hanya nongkrong di sofa ditemani buku Kimia
dan segulung perkamen untuk Bahasa Indonesia.

Untuk gerakan pemanasan, aku mengerjakan soal-soal Minyak Bumi dan Gas Alam dahulu. Untuk gerakan inti, soal-soal kompilasi Trio Hidrokarbon, Minyak Bumi dan Gas Alam, dan Konsep Reduksi-Oksidasi kukerjakan. Dan untuk gerakan pendinginan, well, seperti yang telah kauduga: Stoikiometri.

Ngomong-ngomong, ada manfaatnya juga, loh, Mrs. I memberikan setumpuk tugas Kimia macam begini.

1) Aku nggak menghabiskan waktu dengan nongkrong di depan TV dan berusaha mencerna berita-berita terbaru sampai azan Dzuhur berkumandang.

2) Aku menjadi -- er...walaupun sedikit -- paham dengan Tata Nama, penghitungan mol, massa, volume, rumus empiris dan rumus molekul, dll dst dsb.

3) Rasa bosan mendekam di rumah teratasi.

Sayangnya, aku jadi tidak bisa melahap beberapa novel di rak buku yang lagi menunggu giliran untuk dibaca.

Sebenarnya, pelajaran Kimia itu gampang, loh, kalau kita paham. Kurasa, aku harus lebih menyukai pelajaran Kimia, nih (yang pada akhirnya itu tidak pernah terjadi).

Suatu pertemuan di suatu hari dengan seekor kucing

Ada beberapa keluarga kucing di lingkungan rumah. Well, aku nggak tahu persis berapa jumlahnya. Suatu sore, sepulang dari sekolah, aku menemukan seekor kucing kecil warna putih di depan rumah. Ada bintik merah di dahinya. Pertemuan singkat dengan Si Kucing terjadi beberapa bulan lalu.

Suatu siang, aku melihat Si Kucing dengan ibu-nya. Yup. Dengan ibu-nya – di teras rumah. Mereka lagi bersantai. Kuintip kegiatan mereka. Si Kucing menganggu ibu-nya yang lagi tidur. Well, barangkali dia ingin main. Tapi, Si Ibu malah mendorongnya menjauh. Merasa permintaan main ditolak, Si Kucing jadi pundung. Dia pergi main sendiri. Si Ibu yang baru sadar anaknya pundung, langsung terbangun dari tidurnya lalu menjulurkan kepalanya dari jeruji pagar rumah sambil mengeong – kurasa dia lagi berusaha memanggil anaknya kembali. Oke. Kejadian ini nggak benar-benar aku lihat, tapi diceritakan oleh Lila. Aku jadi tertawa berderai-derai mendengarnya (soalnya sambil kubayangkan juga kronologisnya).

Setelah itu, aku tidak melihat mereka lagi.

Kadang-kadang, ada suara cempreng seekor kucing. Kata Lila, itu suara ayahnya. Aku berimajinasi kalau saat itu ayahnya sedang memarahi atau mungkin memberi petuah untuk Si Kucing. Atau barangkali, ayahnya lagi bosan jadi dia menyanyi keras-keras. Kadang-kadang, ada suara bertengkar para kucing juga. Mungkin sedang ada aksi merebut area kekuasaan antar ayah kucing.

Kemudian, hari Minggu kemarin, aku menemukan seekor anak kucing hitam-putih dengan ibunya. Di teras rumah pula! Mereka lagi tidur. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan emas di depan batang hidungku, langsung kuambil kamera. Saat aku memfokuskan kamera, tiba-tiba si anak kucing terbangun. Dia nggak mengeong atau mencakar. Dia malah memerhatikan benda hitam besar yang sedang kupegang. Merasa terganggu, si Ibu terbangun tapi kemudian dia tidur lagi. Keluarga kucing yang kutemukan kali ini bukan keluarga Si Kucing. Well, kata Lila, Si Kucing bukan kucing kecil lagi.

Dan sore ini, aku menemukan si kucing hitam-putih dan ibunya lagi! Langsung kuambil kamera dan kujepret mereka.


Well, atau jangan-jangan si kucing hitam-putih itu sebenarnya Si Kucing? Barangkali, tanda merah di dahinya itu menghilang ketika dia semakin tumbuh.

Di sekolah juga ada keluarga kucing, ngomong-ngomong. Ada dua ekor anak kucing: yang satu berwarna orange, yang satu lagi perpaduan warna kuning dan hitam. Kucing kuning dan hitam suka sok manja ke manusia. Misalnya, ada manusia di sekitarnya. Terus, dia langsung menghampiri – minta dielus. Kalau yang warna orange, dia jarang kelihatan. Ada satu keluarga lagi: ibu dan dua ekor anaknya. Yang satu berwarna hitam, yang lain berwarna putih. Mereka keluarga yang aneh dan hobinya sembunyi dari manusia. Kucing putih fobia sama manusia dan kedua matanya berwarna merah (aku nggak tahu kenapa), kucing hitam galak sama manusia – hobinya menggeram, padahal kalau didekati, nyalinya langsung menguap. Sayangnya, aku kurang suka dengan keluarga kucing yang ini.

Mungkin beberapa bulan ini adalah Bulan Khusus Bagi Keluarga Kucing.

Yuk, sekarang kita mendesain cover buku!

Proyek SenRup kali ini adalah mendesain sampul buku. Mr. T memberikan beberapa judul buku: “Si Kancil yang Cerdik”, “Cara Merangkai Bunga”, “Sejarah Kebudayaan”, “Bumi dan Antariksa”, “Pendidikan Seni Rupa/Musik/Drama/Tari”, “Gerak dan Kesehatan.” Aku memutuskan untuk memilih judul “Bumi dan Antariksa” soalnya aku ingin menjadi seorang astronot dan ketemu E.T dan para alien di film “Aliens in the Attic” (oke, tapi itu bohong). Kau bisa memakai namamu dan menambahkan gelar sesukamu di dalam sampul bukunya – asal jangan Alm. aja, kata Mr. T. Untuk penerbit, Mr. T menyarankan nama tumbuhan, jadi kupakai nama “Trembesi.”

Awalnya, aku bingung gambar apa yang cocok untuk sampulnya. Oke, aku tahu aku tinggal menggambar Bumi, pesawat antariksa, planet Saturnus, dan Bulan. Kutambahkan tangan yang sedang menengadah seolah-olah ingin menggenggam Bumi.

Cat air dan kertas krep itu beda 180 derajat. Cat air cepat kering dan warnanya susah diratakan, sedangkan warna dari kertas krep transparan dan gampang diratakan. Untuk mengakalinya, aku pakai cat air punya… teman. HAHAHA. Itulah arti dari azas manfaat. Kebetulan, cat air punya teman itu oke, jenis cat poster dan warnanya bagus – tinggal celupkan kuasmu ke dalam botol cat terus tambahkan sedikit air.

Untuk proyek kali ini, aku telah mengulangnya dua kali. Proyek pertama karena warna cat-nya yang nggak rata. Iya, soalnya aku pakai cat air rakyat (entah karena cat airnya atau kuasnya atau malah diriku). Bentuk jempol di tangan kanan cacat sekali, dan... warna kolom penulisnya juga jelek. Untuk proyek kedua, aku pakai cat air punya teman dan hasilnya er… lumayan.


Ini desain yang kedua. Kali ini... Alhamdulillah. Nggak ada yang gagal. Hanya saja, warna kuning-nya beda dengan desain yang pertama. Warna kuning di desain kedua seperti warna stabilo (dan tolong, jangan tanya padaku berapa batang stabilo yang telah kuhabiskan -- aku pakai cat asturo punya teman, kok. HAHAHA). Kali ini, warna biru-nya rata, soalnya well yeah, aku pakai cat punya teman LAGI. Tapi, menurutku ini lumayan, loh.

Ngomong-ngomong, kau masih ingat dengan proyek poster? Well, hari Rabu kemarin hasilnya udah dibagikan dan guess what? Berapa nilai yang berhasil kuraih? Angka tujuh dan tiga! 73.

N.B. Semoga aku mendapat nilai sempurna untuk proyek kali ini.

***

p.s. HAI, terima kasih sudah membaca postingan ini. Aku tahu kok tugas ini bikin frustasi. Tenang, kamu nggak sendirian kok. Teman-temanmu juga merasakan hal yang sama. So yea, kalau kamu berambisi untuk dapat nilai bagus pada proyek kali ini, semoga tips ini berguna.

1. Pemilihan cat
Kusarankan, jangan pakai cat rakyat (itu loh, cat murah meriah yang kalau mau membuka tube-nya harus ditusuk jarum). Selain warna-nya yang kurang cerah, cat ini ngeselin. Dicampur banyak air malah meluber, dicampur sedikit air catnya terlalu kental (setidaknya, itu yang kualami). Jika kau benar-benar berambisi untuk dapat nilai bagus, belilah cat yang bagus. Males beli? Ya udah, tinggal minta saja sama temanmu.

2. Pemilihan gambar cover
Gambarlah cover yang kira-kira tidak ribet diwarnai.

3. Sabar, sabar, sabar, sabar, sabar, sabar...
Butuh kesabaran juga dalam menyelesaikan tugas ini. Jadi, sabar, teman-temanmu yang lain juga merasakan hal yang sama. Kalau kebetulan ada seorang teman yang jago, tak ada salahnya minta tolong (minta dibikinin, maksudnya).

Oke. Selamat menekuri tugas ini, ya. Semoga berhasil.

Yuk, mari kita selamatkan kus-kus ini dari kepunahan

Seperti yang pernah kubilang. Selama-lamanya liburan berlangsung, liburan itu akan berakhir juga ketika telah tiba saatnya (seperti para kakak kelas yang telah bebas dari belenggu soal-soal UN, kemudian para adik kelas menjejakkan kakinya lagi ke tanah almamater hari berikutnya). Tanpa penyusunan jadwal, diriku telah refleks melakukan ini-itu. Bangun jam 06.30, langsung menekuri televisi -- menonton kartun porifera persegi warna kuning dan aksi keempat penguin cerdik yang telah menjelajah Madagascar dan Afrika. Ah, nikmat loh menonton kedua kartun itu ditemani setangkup roti. Setelah itu, aku mandi dan uhm... bersepeda ke Dunia Maya.

Well yeah, saat hari pertama libur, aku MEMANG kangen dengan atmosfer kelas, kangen bercanda dengan Konstelasi X.9 dan blablabla lainnya. Tapi, menginjak ke hari ketiga, aku terbawa oleh suasana liburan. Daripada bosan menekuri berita-berita di televisi yang monoton -- tentang aksi terorisme, terorisme, terorisme, atau... Ujian Nasional (well, aku sengaja menonton berita karena untuk seleksi pertukaran pelajar yang dilaksanakan tanggal 1 Mei nanti), aku memutuskan untuk merampungkan proyek SenRup. Kuberitahu kau, ya. Proyek kali ini membuat poster. Tema-nya tidak ditentukan, asal... seperti yang telah kau tahu: singkat, padat, dan jelas.

Untuk kali ini aku mengangkat tema "Lindungi Hewan Langka!" -- gambar seekor kus-kus abu-abu pemuram di atas batang pohon dan di bawah gambar itu kutulis kalimat berhuruf kapital: Yuk, kita selamatkan mereka dari kepunahan.


*Harusnya sih, aku menggunakan warna cokelat, tapi entah mengapa aku malah menggunakan warna abu-abu. Pernah lihat ada kus-kus warna abu-abu? Kuharap WWF nggak protes*

Alasan mengapa aku mengangkat tema ini, well, suatu waktu aku pernah melihat ada orang yang menjual kus-kus. Aku tidak tahu apakah itu ilegal atau tidak. Kalau ilegal, kasihan sekali hewan yang satu ini. Aku baca di majalah Bobo kalau mereka terancam punah. Tapi, kurasa harga jual kus-kus itu tinggi banget dan oh, siapa sih yang mau memelihara hewan yang terancam punah? Jadi, aku hunting gambar kus-kus di majalah Bobo, dan kupikirkan kalimat yang sifatnya mengajak tapi friendly. Dan jadilah kalimat itu.

Oke, barangkali kau bertanya-tanya bagaimana cara untuk menyelamatkan kus-kus.

Jika kau berjalan-jalan ke hutan terus kau lapar dan kebetulan ada kus-kus lewat di sebatang pohon, jangan bunuh hewan itu. Mudah, bukan?

Sayang sekali, Mr. T nggak membolehkan krayon sebagai pewarna poster. Pewarna yang dibolehkan hanya
kertas krepcat -- cat air, cat poster, cat akrilik, dst dsb dll. Jadi, aku beli saja cat air yang murah meriah (toh aku bukan seorang pelukis profesional, kok).

Setelah beberapa tahap pewarnaan, akhirnya proyek ini rampung kemarin malam. Alhamdulillah.

***

p.s. HAI, terima kasih sudah membaca postingan ini. Lagi menekuri tugas ini juga ya? Atau lagi nyasar saja?

Pilihan


Aku sedang menekuri televisi, mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan dunia akhir-akhir ini, di suatu hari libur yang membosankan. Kemudian, aku tertidur dan aku bermimpi.

Aku makan racun.

How High School works (to me)

Di Semester Dua, hidupku di SMA masih sama.

Masih.

Dengan Semester Satu.

Bangun jam lima pagi, berangkat jam enam pagi, day-dreaming ketika guru sedang sibuk menerangkan (saat udara sedang panas-panasnya dan membuat kedua mata nyaris tertutup rapat), mendapat tugas kelompok dan PR ketika mood sedang jelek, mencongklang ke rumah jam empat sore, sepedahan ke Dunia Maya atau berkutat dengan laptop sampai jam enam sore, lalu beberapa jam sebelum tidur dihabiskan dengan melahap buku-buku pelajaran.

Jangan kau kira kehidupanku di SMA itu punya pacar, shopping dengan geng setiap weekend, atau sibuk berorganisasi di OSIS. Bold, Italic, Underline: Nggak.

Kehidupanku di SMA nyaris... datar.

Well yeah, kecuali perbedaan atmosfer antara di kelas SMP dan SMA. Kalau kau adalah salah satu anggota di Konstelasi X.9, kau akan dijejali oleh berbagai macam cerita dan percakapan tentang cowok, cowok, dan cowok. Kau nyaris tidak akan mendengar percakapan tentang bagaimana sejarah pembentukan bilangan Avogrado, atau bagaimana Porifera bereproduksi (kecuali di kelas Biologi). Kau akan mendengar teman sebangkumu curhat tentang cowok dengan teman yang duduk di belakangmu. Kau akan mendengar breaking news tentang hubungan antara temanmu dan cowoknya. Kau akan menyaksikan temanmu menangis di sudut kelas sambil menggenggam hape-nya. Well, kecuali kalau kau seseorang yang culun seperti aku, kau tidak akan mengerti sama-sekali permasalahan yang sebenarnya.

Tapi, akhir-akhir ini aku sedang sibuk dengan AFS dan/atau YES. Oh iyo, Kawan, aku tak ketinggalan untuk turut serta meramaikan seleksi AFS dan/atau YES. Sebenarnya, batas waktu pengembalian formulir plus berkas-berkas pentingnya tanggal 17 April nanti. Ironisnya, aku malah baru sibuk mengurus ini-itu seminggu sebelum deadline: legalisir ijazah, SKHU, rapor SMP dan SMA, lalu minta surat rekomendasi KepSek. Untuk saat ini, berkas-berkas SMP udah beres. Tinggal legalisir rapor SMA dan surat rekomendasi KepSek. Kendalanya hanya satu: malas (dan mari berdoa bersama-sama agar berkas-berkasku lengkap dan dikumpulkan ke panitia secepatnya).

Dua frasa: Boo Radley dan tamatlah sudah

Kakiku langsung menari-nari tap dan hatiku melompat-lompat gembira sampai menembus atmosfer Bumi begitu mendapati novel "To Kill a Mockingbird" yang selama beberapa hari hilang, meringkuk nyaman di pelukan si boneka monyet - di hari Sabtu sore begitu aku pulang sekolah.

Hilang. The End.

Novel-ku yang berjudul "To Kill a Mockingbird" hilang!

Bold, Italic, Underline + CAPS LOCK: HILANG!

Oke, aku tahu ini amat sangat berlebihan. Tapi, aku suka sama novel itu. Dia hilang SEBELUM aku membaca halaman terakhirnya. Ditambah lagi, saat aku hampir sampai di bagian klimaks dan ironisnya - aku BELUM mengetahui keputusan hakim mengenai kasus Tom Robinson dan misteri Boo Radley yang tidak pernah keluar dari dalam rumahnya.

Hari Minggu kemarin, novel itu masih ada di atas tempat tidur dan aku melanjutkan membaca sebanyak satu bab. Bahkan, aku sempat memotretnya. Serius. Lalu, aku taruh novel itu di atas tumpukan buku di kamar. Aku lupa aku melihatnya lagi di hari Senin dan bahkan, aku tidak membacanya lagi sama sekali.

Di hari Selasa malam - setelah berkutat dengan trio Hidrokarbon; Alkana, Alkuna, dan Alkena, aku memutuskan untuk melanjutkan baca tuh novel lagi. Saat aku mencarinya di atas tumpukan buku, ternyata NGGAK ADA. Aku coba cari di semua tempat, eh, tetap nggak ada. Dan kau boleh percaya atau tidak, aku nangis kejer begitu menyadari bahwa novel itu NGGAK ADA.

Astaga, kok bisa gitu ya tuh novel hilang tanpa meninggalkan jejak?

Hmm well, oke. Tapi kemudian kupikir, toh aku bisa membelinya lagi nanti (atau numpang baca di toko buku, mungkin).

p.s. Aku curiga, jangan-jangan aku mengidap Alzheimer, lagi. Tapi kayaknya nggak, deh. Nah terus, di mana si novel sebenarnya berada?

Little wishes and... imaginations

Di sekolah, aku membicarakan cita-cita, impian, harapan, prediksi, dan tetek bengek mengenai masa depan dengan beberapa teman. Dimulai dari pertanyaan biasa macam, "Kau mau lanjut ke jurusan mana, nih?" diakhiri dengan pertanyaan yang biasa ditujukan untuk para murid Taman Kanak-Kanak, "Cita-citamu apa, nih?" Aku tidak heran mereka mempunyai impian-impian seru seperti misalnya membuka showroom mobil mewah atau membangun sebuah sekolah sepakbola.

Well yeah, Albert Einstein benar. Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.

Lucunya, impian-impian yang kami tuturkan bisa digabungkan dengan impian-impian lainnya. Seperti misalnya, salah seorang teman di kelas diprediksikan menjadi seorang atlit TimNas dan kemudian dia menjadi pelatih di sekolah sepakbola itu, lalu seorang teman lain di kelas yang diprediksikan menjadi dokter dan suster akan ikut membantu para siswa yang cedera, lalu seorang teman lain di kelas yang kreatif akan mendesain seragam sekolah (dan membuat rancangan bangunan sekolahnya, tentu saja) terus seorang teman lain di kelas yang diprediksi mempunyai sebuah butik akan membuat seragam-seragam itu. Oke, jadi yang paling berpengaruh adalah salah seorang teman di kelas yang mempunyai impian membangun sekolah sepakbola.

Karena itu, aku menjadi ingat dengan para anggota Sahibul Menara yang selalu nongkrong di bawah menara masjid Gontor sambil menunggu Maghrib. Mereka membicarakan tentang impian masing-masing dan melihat awan-awan di langit senja membentuk negara-negara impian mereka. Dan kemudian, mereka berhasil meraih awan-awan itu. Oh yeah, semoga saja kita bisa seperti mereka, Konstelasi X9.

Hari ini nyaris semua jam pelajaran kosong. Tidak ada guru yang mengajar di kelas berarti bisa menonton film. Aku asyik duduk diam sambil memerhatikan layar laptop, menonton sebuah film tentang seorang wanita yang terkena penyakit Alzheimer. Harus kukatakan, nonton bareng itu seru – bisa saling berkomentar tentang suatu adegan.

Dan sepanjang hari, aku tertawa.

A wimpy writer met a well-known writer

Kau tahu Pipiet Senja? Kau pernah membaca salah satu novel atau cerpennya? Kau pernah bertemu dengannya? Atau kau ternyata salah satu penggemarnya?

Kemarin di hari Minggu yang muram (karena hujan), aku pergi ke Islamic Book Fair (IBF) di Istora Bung Karno, Jakarta. Acara itu hanya diadakan setahun sekali selama tujuh hari. Ketika aku sampai di sana, yang aku temui lautan buku (ya iyalah kan Book Fair, gimana sih), dan para pelajar di pondok pesantren. Aku memborong banyak buku karena banyak tumpukan buku yang didiskon dan harga normal (setidaknya di sana aku mendapatkan novel "All American Girl"-nya Meg Cabot part dua). Kau pasti bertanya-tanya, kenapa di IBF ada buku-nya Meg Cabot. Well jadi gini, biar kuberitahu kau, ya. Di IBF nggak hanya buku-buku islami, tapi buku-buku yang lain juga ada (setidaknya aku mendapatkan "To Kill a Mockingbird" juga).

Aku dan Ma dan Pa dan Lila berkunjung ke salah satu stand. Terus, mas-mas stand-nya bilang ke Ma kalau wanita yang sedang duduk itu adalah Pipiet Senja dan Ma memberitahu Pa dan Lila dan aku, tentu saja. Aku nyaris tak percaya mendengarnya. Seorang penulis sedang berada di dalam stand ini?

Well, aku sering mendengar namanya dan kurasa aku pernah membaca salah satu cerpennya di majalah anak-anak. Di rumah, aku punya novel-nya yang berjudul "Jenderal Nyungsep."

Jadi, tanpa menyia-nyiakan kesempatan emas yang ada tepat di depan hidungku, aku langsung minta Pa untuk menyiapkan kamera, dan aku menghampiri salah seorang penulis Indonesia itu yang sedang asyik mengobrol dengan seseorang.

"Minta tanda tangan, dong, Teh," aku berkata dengan suara kecil dan kuberikan salah satu novel-nya.


Kemudian, Teh Pipiet Senja membubuhkan tanda tangan PLUS namaku di atas halaman pertama novelnya.


Semoga suatu hari nanti aku bisa mengikuti jejaknya.

So..., I'm into Tumblr

Pertama kali aku mendengar kata Tumblr ketika aku sedang blogwalking. Seorang blogger memberitahu para pembacanya bahwa dia terlalu banyak ngoceh di Tumblr, jadi dia kehabisan ide untuk membuat suatu postingan di Blogspot. Ketika membaca kata 'Tumblr' di antara kata-kata yang ditulisnya, pikiranku langsung melayang jauh ke... wadah air. Eh iya, serius (Tumblr=botol. Get it?). Kemudian, aku membaca kata itu lagi di suatu katalog yang di dalamnya berisi wadah makanan berbagai bentuk. Itu nama suatu produk wadah minum beraneka warna.

Well yeah, seculun-culunnya aku, nggak mungkin seseorang menulis di atas wadah minumnya yang ada di dapur. Jadi, aku browsing mengenai Tumblr itu di Google. Akhirnya, aku menemukan jawabannya. Tumblr itu semacam blog. Tidak hanya tulisan yang bisa di-publish, tapi juga foto, audio, quote, beberapa percakapanmu yang terjadi tadi sore, dan video. Semuanya bisa kau atur, kok.

Aku memutuskan untuk bergabung di Tumblr tahun lalu bulan... LUPA. Beberapa foto yang menurutku lumayan ku-upload, percakapan-percakapan tak terduga kutulis, lagu kesukaanku ku-publish, quote yang kutemukan di dalam novel kuberitahukan kepada seluruh orang yang membuka Tumblr-ku.

Tiba-tiba, suatu hari aku menemukan beberapa postingan yang keren dan kuputuskan untuk di-reblog (yeah, di Tumblr, kau bebas untuk me-reblog). Tadinya gini, aku tidak terlalu tertarik dengan kegiatan reblog. Tapi kemudian, karena akhirnya aku menyadari bahwa orang-orang di Tumblr itu sama warasnya denganku sehingga bisa menghasilkan postingan-postingan keren, kegiatan-ku di Tumblr menjadi REBLOG. Itulah sebabnya mengapa aku mengganti alamat Tumblr-ku yang tadinya "playingwords.tumblr.com" dan judul Tumblr-ku yang tadinya "play it by words!."

Oh yeah, kuberitahu kau, ya. Nge-Tumblr itu ASYIK, jadi jangan heran jika kau melihat Tumblr-ku lebih UPDATE dibandingkan blog-ku atau... sadly, Wordpress-ku.

p.s. Kau bisa singgah sebentar di Tumblr-ku setelah membaca postingan ini: diatrinari.tumblr.com.

Me, The Wimpy Committe

First of all, let me get something straight. Aku menjadi seorang panitia dalam suatu event besar di sekolah. Bisa kau bayangkan itu? Aku, seorang pelajar culun kelas Sepuluh menjadi seorang panitia – dalam event besar pula. Padahal, aku tidak mengikuti suatu kegiatan organisasi sekolah. Well, lebih jelasnya gini. Aku menjadi panitia dalam suatu acara bernama ECOM (FYI: ECOM means “English Competition” yang terdiri dari lomba puisi untuk SD, drama untuk SMA, Scrabble, dan Storytelling untuk SMP) di mana ekskul-ku diberi kehormatan untuk mengasuhnya.

Di hari pertama, aku datang pagi-pagi ke sekolah (dengan kostum panitia: kerudung putih, seragam SMA, nametag bergambar tiga buah jamur dari divisi Basidiomycota *ketiga jamur ini adalah maskot event*, dasi dan rok bermotif batik, dan sepatu hitam) – mendapati koridor sekolah sepi dan tidak ada orang yang mengucapkan “Guten morgen” kepadaku. Ternyata, semua panitia berkumpul di suatu ruang khusus. Oke, jadi daripada aku terlunta-lunta, lebih baik aku mjb-an aja sama para panitia lainnya. Tugasku di hari pertama SEBENARNYA adalah menjaga stand ekskul-ku di Smansa Fair (oh yeah, ada Smansa Fair juga). Tapi, aku malah berimajinasi konyol macam “oh-tidak-sepertinya-aku-akan-lumutan-kalau-nongkrong-di-stand”. Jadi, aku memutuskan untuk tukeran dengan salah seorang teman. Kemudian, TA-DA, aku menjadi Si Pencari Kata Dalam Kamus di Lomba Scrabble.

Tapi ternyata, aku terlalu brilian untuk mengandalkan kamus (maaf, ini hanya bercanda, kok!). Jadi, sepanjang permainan aku hanya duduk diam sambil memperhatikan susunan-susunan kata di atas papan bermagnet. Tiba-tiba, aku menjadi amat sangat menyesal.

Beberapa jam selanjutnya, aku melewatkan waktuku untuk nongkrong sebentar di stand “English Club” – menanyakan berapa banyak pengunjung yang telah berhasil diajak bermain game, dan menonton drama SMA. Ya, aku memang panitia TENGIL nan culun.

Di hari kedua, aku bertugas sebagai time-keeper dalam lomba Storytelling. Aku hanya melambai-lambaikan bendera berwarna hijau tanda dimulai, bendera kuning tanda “cepetan-dek-waktumu-lima-menit-lagi”, dan bendera merah tanda “oh-maaf-dek-waktumu-habis”. Aku tak habis pikir betapa para pelajar SMP amat sangat emosional dalam bercerita.

Oke, dan kemudian, ECOM berakhir sudah - di hari ini. Tapi, itu tak berarti aku lepas jabatan dari panitia. Bagaimanapun, aku masih seorang panitia walaupun untuk dua hari ke depan aku tidak memakai kostum panitia.

Flashbacks

Semester Dua sedang berjalan dan menurutku SAMA saja seperti Semester Satu – nyaris datar, berkutat seperti biasa dengan tugas-tugas persentasi kelompok dan SenRup. Perbedaannya hanya satu: banyak hari-cuti-sekolah karena para kakak kelas sibuk dengan segala macam ujian.

Rasanya baru kemarin saat kau sibuk berdoa agar bisa melanjutkan pendidikan di suatu SMA pilihanmu dan berimajinasi yang konyol. Rasanya baru kemarin saat kau mendengar suatu pengumuman bahwa kau berhasil diterima di SMA pilihanmu. Rasanya baru kemarin saat kau melangkah dengan sepatu baru dipadan seragam berwarna putih bersih dan abu-abu di koridor, mencari kelas pertamamu di hari pertama sekolah setelah masa orientasi berakhir (ditambah kau salah masuk kelas). Rasanya baru kemarin saat kau bertemu wajah-wajah baru (well yeah, terkecuali jika kau sekelas lagi dengan teman-teman SMP) dan sibuk memikirkan suatu cara agar kau bisa berkenalan dengan mereka. Rasanya baru kemarin saat kau mengikuti pelajaran pertamamu di SMA. Rasanya baru kemarin saat kau mendapatkan tugas Seni Rupa pertamamu. Rasanya baru kemarin saat kau akhirnya membuka mata dan mendapati bahwa dunia SMA nyaris berbeda dengan dunia SMP – di mana kegiatan OSIS di SMA ternyata amat sangat sibuk dan padat. Rasanya baru kemarin saat kau menyadari bahwa karaktermu lumayan berubah di SMA – dari yang kuper menjadi populer, dari yang malas menjadi rajin, dari yang sombong menjadi rendah hati, dari yang biasa saja menjadi duta sekolah dalam pertukaran pelajar ke luar negeri, dari yang tidak punya pacar menjadi punya pacar, dari yang pasif menjadi aktif, dll dst dsb etc.

Ketika aku kembali ke dalam masa lalu
dengan mesin waktu-nya Doraemon, aku ketawa sendiri saat melihat diriku seorang gadis kelas 10 yang culun – dengan kerudung yang dipasang asal-asalan, ransel lebar dan besar, dan belum bisa beradaptasi dengan teman-teman sekelas lainnya. Oke, barangkali sekarang aku MASIH terlihat culun, tapi peduli amat. Setidaknya aku tidak se-culun dulu, kok *mengangkat bahu cuek*.

Salah satu alasan mengapa aku menulis post ini adalah karena the flashback started I’m standing there on the balcony in summer air. Bohong. Itu kan lirik lagu. Ulangi lagi. Salah satu alasan mengapa aku menulis post ini adalah karena tiba-tiba saja aku teringat masa-masa awal menjadi seorang pelajar SMA – saat aku belum lihai dan gesit memasang kerudung segi empat dan berjalan menunduk ketika bertemu dengan kakak kelas (oke, jujur nih, waktu itu aku masih rada trauma dengan masa-masa orientasi). Tiba-tiba, sekarang sudah Semester Dua dan saatnya fokus ke penjurusan. Pilihan ada di tanganmu: IPA, IPS, atau Bahasa (well, katanya jurusan Bahasa akan dibuka di sekolahku), dan terutama akan berbeda kelas dengan konstelasi X.9.

Dalam Rinai Hujan

Foto tetesan hujan di jendela

Selasa, 14 Desember

Chairil, 10 tahun

Asyik, hujan lagi! Aku dan teman-teman berlarian ke depan pintu masuk sebuah pusat perbelanjaan. Kami membentangkan payung-payung berwarna-warni yang kami bawa, kemudian menunggu. Aku membutuhkan hujan, sama seperti para ojek payung lainnya. Kalau tidak hujan, sulit bagi kami mendapat uang untuk sekolah. Tapi untungnya, bulan ini sering turun hujan. Jadi kayaknya penghasilanku akan lumayan banyak. Kebanyakan orang tidak membutuhkan jasa ojek payung. Mereka lebih memilih untuk menunggu hujan reda. Tapi, bagiku tidak apa-apa. Toh masih ada kok beberapa orang yang membutuhkan jasa ojek payung. Seorang bapak menghampiriku dan aku langsung memberikan payung lebarku kepadanya. Kemudian aku berjalan menembus hujan mengikuti langkah kakinya. Basah kuyup.

Magic Crayon


Aku membuka lokerku sebelum mengikuti kelas Bahasa Indonesia yang bertempat di lantai tiga gedung sekolah. Kuambil buku paket Bahasa Indonesia dan buku catatan warna merah jambu dari dalam loker. Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada sekotak krayon yang terletak di sudut loker. Kuamati kotak itu.

Kotak itu berisi 24 batang krayon dari mulai warna merah hingga warna hitam. Di covernya tertulis, “Magic Crayon” yang berarti “Krayon Ajaib”. Ada kotak kecil putih bertuliskan, “Gunakan jika kau benar-benar membutuhkannya”. Keningku berkerut dibuatnya.

A simple obsession: Writer!

Seperti para blogger lainnya, biar samaan, aku mau melompat-lompat ceria sambil menjerit dulu: “AYE! Postingan pertama di bulan Februari!”
Bulan ini banyak hari cuti sekolah. Diawali dengan libur Imlek, terus nanti tanggal 7, 8, dan 9 Februari para peserta didik yang berstatus anak-kelas-sebelas-dan-sepuluh kecipratan libur karena selama tiga hari itu para peserta didik yang berstatus anak-kelas-dua-belas berkutat ria dengan Try Out Provinsi. Hmm, asyik cuti tiga hari! Maaf ya Kang, Teh. Dinikmati aja ya wejangan soal-soal-nya.

Nah, selama tiga hari cuti, aku punya segudang rencana. Dari mulai privat gitar autodidak, menghabiskan sisa novel yang belum sempat dibaca, mengerjakan proyek Seni Rupa (iya, kelasku diberikan tugas. Jangka. Lagi), bahkan belajar Fisika. Oke, kukakui, aku memang ingin bisa nembus jurusan IPA. Setelah melalui rehabilitasi di ruang laboratorium Kimia dengan bermacam-macam gelas kimia berisikan cairan berbau (NH3 for the win!) dan berasap, terus reaksi, bilangan Avogrado, dst, dsb, dll, kurasa Fisika lebih mending daripada Kimia – dan Matematika lebih mending daripada Fisika. Apa? Nggak juga? Well, itu sih menurutku, loh.

Intinya dari postingan ini (dua paragraf di atas hanya sebagai paragraf basa-basi. Ayo, tentukan, termasuk jenis apakah kedua paragraf di atas? Becanda), aku lagi terobsesi menerbitkan sebuah buku hasil buah pemikiranku sendiri (sebenarnya, menjadi seorang penulis handal). Bangga rasanya melihat buku yang ditulis olehmu dipajang di rak toko buku. Tapi, sebagai langkah awal sih, lebih baik dikirimkan dulu aja ke majalah. Aku nggak bisa menulis tulisan ilmiah, aku hanya bisa menulis cerita. Kadang-kadang, aku menemui kesulitan menulis sebuah cerita simpel khusus untuk anak-anak. Aku pernah mengirim cerita ke Kompas Anak, tapi karena aku belum beruntung, naskahku tidak dimuat. Pihak Kompas mengembalikan lagi naskahku. Mereka bilang, bahasaku terlalu dewasa untuk anak-anak. Dan rasa kecewaku terobati begitu mereka berharap aku mengirimkan lagi naskah ke redaksi mereka.

Saat kelasku mendapat jam bebas pelajaran, aku iseng mencoretkan pulpenku di atas kertas, menulis sebuah dongeng tentang seekor kucing yang membangga-banggakan topi ajaibnya. Kemarin, aku mendapatkan mimpi aneh – seperti cerita-cerita fantasi. Karena aku berpendapat mimpi itu KEREN dan jarang kudapat, langsung aja aku tuangkan lewat tulisan. Dan sekarang mimpi itu telah berkembang menjadi cerita 6 halaman Ms. Word. Tapi sayangnya, aku belum tahu akhirannya gimana, euy. Terus, aku membuat cerita lagi mengenai seorang anak berumur sebelas tahun dengan jaket merah yang menolongnya dari penculikan. Well, sebenarnya aku terinspirasi membuat cerita itu dari sebuah cerpen yang aku baca di majalah kaWanku.

Di twitter juga ada akun yang memuat cerita-cerita yang bagus-bagus. @fiksimini. Yeah, baca tweets akun ini dan kau akan terpukau dengan kegeniusan dan kekuatan sebuah cerita mini di dalam 140 karakter. Ceritanya simpel. Tapi, membuatmu bertanya-tanya dan berimajinasi kayak gimana lanjutan ceritanya. Aku udah mencoba membuat dua fiksimini, tapi nggak ada yang di-retweet. Hiks. Mungkin karena bumbu yang aku pakai kurang. Jadi, sampai sekarang aku hanya menjadi penikmat fiksimini-fiksimini itu.

Menulis itu ternyata bikin ketagihan, ya? Asa gimana gitu kalau tidak menulis walaupun hanya satu hari (haha, padahal mah belum pernah mencoba tidak menulis selama satu hari penuh).

"Maaf, tapi aku takut salah, nih."

Hari ini di kelas Olahraga, kelasku mencoba passing atas, servis, dan melempar-lempar bola dengan jari-jari bukannya dengan telapak tangan. Dengar, aku tuh nggak bisa saat bagian melempar-lempar bola dengan jari-jari dan memukul bola melewati net. Malangnya aku – si gadis paling culun di sekolah, net-nya dipasang TERLALU TINGGI, bagiku, dan arah bolanya mengarah ke sisi lapangan dan TIDAK melewati net SEDIKITPUN. Astaga, kalau begini gimana dengan nilai test Olahraga Voli-ku buat hari Sabtu nanti? Pergelangan tangan kananku sakit, pula.

Di kelas Bahasa Indonesia, aku melakukan hal yang menurutku amat sangat BRILIAN. Jadi gini, kali ini kelasku membuat suatu karangan yang di dalamnya terdapat paragraf eksposisi, deskripsi, narasi, dan argumentasi. Jika kau salah satu orang yang senang menulis (seperti aku), maka kau akan merasakan betapa susahnya mengarang dengan ‘ditentukan’ begitu. Seolah-olah pikiranmu jadi ngadat mendadak karena terikat dengan ‘hal-yang-ditentukan’ itu. Nah, setelah selesai, kau menentukan apa judul, tema, dan amanat dari karanganmu itu terus dibacakan di depan kelas. Well, tadi sih Budi yang membaca. Sebenarnya, ada tiga orang yang mengumpulkan, tapi karena waktu yang terus berjalan, hanya Budi yang membaca. Nah, selama Budi membacakan karangan yang dia tulis, kami, para peserta didik lainnya HARUS menentukan salah satu jenis apa paragraf-paragrafnya.

Dan ini dia momen yang paling BRILIAN yang pernah kualami. Budi membacakan paragraf pertama dari karangannya, dan kami sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing – menentukan jenis apakah paragraf yang tadi dibacakan Budi. Yeah, Budi bilang paragrafnya adalah paragraf deskripsi. Tapi, menurutku itu termasuk paragraf eksposisi. Dua orang temanku mengatakan kalau itu adalah paragraf narasi, dan mereka MENGEMUKAKAN secara langsung. Dan aku? Karena disebabkan rasa takut-dianggap-salah-sama-sang-guru, aku NGGAK mengemukakan secara LANGSUNG. Dan sialnya, Mr. U bilang bahwa paragraf itu termasuk paragraf EKSPOSISI. Kau dengar itu? Perlu diulang? PARAGRAF EKSPOSISI. Aku melolong bagai serigala yang merana ditinggal pacarnya dan menepuk-nepuk keningku (oke, ini bohong banget). Sampai di rumah, aku langsung memaki-maki diriku karena begitu briliannya membiarkan kesempatan berpendapat itu terbang bebas menempus atmosfer Bumi.

Dan menakjubkannya, itu membuatku lebih sadar – harus lebih berani mengemukakan pendapat, LAIN KALI. Mr. U juga sendiri bilang kalau jangan pernah MALU mengemukakan pendapat. Well, bener juga sih, soalnya kan pendapat-pendapat yang kau kemukakan DIJAMIN oleh Undang-undang Negara. Ah, ingin rasanya mengulang momen tadi dan hari Kamis cepat datang, soalnya ada kelas Bahasa Indonesia lagi di jam kedua.

p.s. Postingan ini diambil dari jurnal yang kuketik di laptop.

Wonderstruck

"I have a song in my heart"

--- Charlie Goldfinch on "Unaccompanied Minors"

*****

Kau tau kan kalau aku tuh tertarik banget untuk belajar gitar? Nah, sejak SMP aku udah mewujudkan niatku itu dengan latihan beberapa chords dasar – bahkan mengikuti les gitar di suatu tempat les musik – dan memainkan sebuah lagu-nya JustinBieb berjudul “One Time” versi akustik yang berkali-kali aku lihat di YouTube. Belajar gitarnya sempat tersendat-sendat bahkan BERHENTI total karena keadaan mood yang nggak stabil. Well, kadang-kadang kalau lagi pengen banget, aku langsung merogoh gitar yang terletak di sudut kamar (yang kurasa udah diselimuti debu karena nggak pernah dipakai) terus mengatur posisi jari di atas fret dan kemudian, LUPA posisi chordnya kayak gimana.

Jadi, aku buka-buka lagi buku berjudul “Cara Bermain Gitar”.Semenjak kelas 3 SMP, aku naksir berat sama gitar Yamaha soalnya kurasa gitar merk itu lebih bagus daripada gitar-berselimut-debu-yang-teronggok-di-sudut-kamar (masalah sebenarnya sih, terletak pada strings-nya. Aku nggak tau apa strings-nya yang bermasalah atau AKUNYA yang nggak bisa main dengan baik dan benar. Padahal strings yang lama udah kuganti dengan strings nilon, seperti yang direkomendasikan guru les gitarku). Dan akhirnya, aku menabung deh biar bisa beli gitar merk itu. Eh, kuberitahu kau ya, ternyata perjuangan mewujudkan-terbelinya-gitar-merk-itu susah banget, loh. Kadang-kadang, uangmu udah terkumpul sekian, terus tiba-tiba kau harus merogoh uang di dalam tabunganmu karena memerlukan sesuatu yang pengen dibeli (seperti CD terbaru JustinBieb, misalnya).

Tapi akhirnya, gitar bermerk Yamaha terbeli, meskipun bukan dibeli dengan uang tabunganku sendiri (tapi, nggak apa-apa deh rezeki kan nggak boleh ditolak. Okedehsipbrilian). Dan dengan begitu, belajar gitar jadi lebih asyik, strings-nya juga lebih oke meskipun bukan nilon (soalnya bukan gitar classic, tapi gitar acoustic. Apa bedanya? Oke gini, kalau gitar classic itu strings-nya dari nilon dan lebih tebal daripada strings gitar acoustic. Gitar classic biasanya buat main melodi dan sayangnya, kelemahanku terletak pada melodi jadi intinya, aku nggak bisa main melodi. Nah, kalau gitar acoustic itu bunyi strings-nya “crengcrengcreng” atau semacam itu deh).

Seorang cowok dari kelas sebelah nonkrong di kelasku sambil sharing cara-cara main gitar ke para anak cowok di kelasku. Kuberitahu kau ya, si-cowok-kelas-sebelah ini JAGO main melodi gitu; lagu “More Than Word” dan “My Heart Will Go On” dia mainkan dengan LANCAR BANGET. Hm, envy aku dibuatnya.

Ngomong-ngomong, basa-basiku panjang banget yo. Inti dari postingan ini sih sebenarnya gini: aku lagi NAKSIR sama “You Belong With Me”-nya Taylor Swift. Maksudku, tuh lagu aku-banget-gitu-loh. Kurasa, lagu itu udah menjadi backsound-of-my-life deh. Karena naksir berat sama lagu itu, aku cari video tutorial cara ngegitarin lagu itu di YouTube dan aku nemu banyak banget. Ada yang susah, ada yang biasa aja, malah ada yang gampang. Hm, chordsnya gampang sih, hanya aja masalahku sekarang “bagaimana-cara-ngegenjreng-senarnya-seperti-si-tutor-yang-ada-di-dalam-video-tersebut”. Lagu itu dimainkan di Capo 4 (artinya, kau meletakkan capo-mu di fret keempat. Apa itu capo? Well, itu kata bahasa Inggris, sih. Tapi kata penjual yang ada di toko musik di kota, capo itu sejenis “capit” gitar. Still don’t get it? Ok, go googling it) – dan itu berarti aku harus membeli sebuah capo.

Nah, jadi kesimpulannya, aku sedang belajar gitar secara total lewat video-video tutorial di YouTube. Hm, doakan aja deh semoga aku bisa secepatnya bermain gitar dengan lancar, baik, dan benar – singkat, padat, jelas (oh nggak, ini ciri-ciri informasi yang baik dalam pelajaran Bahasa Indonesia).p.s. Taylor Swift is a wonderful singer, ain’t? That’s why aku naksir berat sama “You Belong With Me”-nya.

What (best) friends are for

Teman yang mengucapkan “Selamat Tahun Baru, semoga di tahun ini semua menjadi lebih baik” via SMS, tiga puluh dua menit setelah jam dua belas malam, hanya Reska, teman yang kukenal di SMP dan menjadi teman sekelas selama dua tahun. Dia TETAP temanku walaupun kami udah beda sekolah – dan terakhir kali ketemu dia lagi saat di Museum Keliling. Baik banget dia, mengingat dulu aku sempat sebal sedikit dengannya. Dan aku baru membaca SMS itu jam empat pagi dan langsung kubalas.

Sementara lima orang teman sekelasku mengirimkan SMS berisi, berbahasa, dan bertujuan SAMA di malam pergantian tahun – SMS semacam: “Terima kasih ya udah membuatku tersenyum di tahun 2010 dan tolong dong kau forward SMS ini ke siapapun yang udah pernah membuatmu tersenyum di tahun 2010 terus kau lihat berapa banyak SMS yang bakal balik lagi ke hape-mu.”

Aku nggak habis pikir, tumben banget nggak ada kata-kata “Don’t send back karena ini telah terbukti jika kau nggak mengirimkannya segera maka selama setahun penuh kau akan NGGAK BISA LAGI tersenyum.”

Tapi, makasih banyak deh buat yang udah cukup peduli terhadapku. Itu berarti, lima orang teman sekelasku mengakui keberadaanku di kelas. Dan aku ragu mereka pernah tersenyum karena lelucon yang aku buat (kayak aku bisa melucu aja, deh).

Cara menghabiskan liburan-KU

Postingan pertama di bulan Januari 2011. Well yeah, maaf deh buat para pembaca sekalian aku menghilang dari dunia blogger. Kuharap kau nggak kangen berat sama aku (atau postingannya?). Oke, lanjut.

Coba tebak, apa yang baru aja kudapatkan di liburan Semester satu bulan ini?

Well yeah, aku baru bisa chords dasarnya aja, sih. Tapi, daripada nggak bisa sama-sekali padahal udah punya gitar bagus macam itu? Jadi, aku hunting lagu-dengan-chordsnya-tentu-saja untuk kumainkan dan masalahku sekarang adalah: aku belum terlalu bisa pindah-pindah posisi jari secara cepat. Yah, itu artinya aku harus lebih sering berlatih.

Minggu kemarin aku liburan di Solo selama empat hari dan menurutku itu adalah liburan tersingkat yang pernah ada. Yaa mau bagaimana lagi, dong? *angkat bahu*. Terus, sisanya dihabiskan di Gelanggang Samudra, Ancol - menonton Dora, Diego, dan Boots mengejar sebuah robot kupu-kupu di Teater 4D, dan pertunjukkan-pertunjukkan lainnya.

Anyway, film Percy Jackson and The Lightning Thief udah berhasil kutonton. Ada beberapa part yang nggak sesuai sama di buku, tapi yasudahlah, nikmatin aja filmnya. Dan masih tentang Percy Jackson, buku kelima-nya udah kulahap dengan nikmat dan nggak ada satu pun bab yang tersisa. Endingnya, astaga. Kuberitahu kau ya, Rick Riordan itu KEREN banget. Kau mengira-ngira, "Wah, endingnya pasti gini dan Ramalan Besar itu terbukti kalau Percy yang jadi pahlawannya dan blablabla". Tapi, NGGAK kayak gitu.

SPOILER: Ternyata pahlawannya adalah Luke dan dia meninggal, sementara Percy ditawari hadiah oleh Zeus: "Hey, Percy, kau mau nggak jadi dewa seperti kita-kita?" Percy menolak hadiah itu dan lebih memilih menghabiskan sisa hidupnya sebagai manusia fana biasa.

Hmm, libur-libur gini sih kalau lagi nggak pergi ke mana-mana, lebih enak di rumah ditemani buku-buku yang siap kau lahap. Krauks, nyam! Hidangan pembukanya adalah bab pertama, ya tentu aja.